Kebijakan pendidikan berproses melalui tahapan-tahapan perumusan kebijakan pendidikan, legitimasi pendidikan, komunikasi dan sosialisasi kebijakan pendidikan, implementasi kebijakan pendidikan, mengupayakan partisipasi masyarakat dalam kebijakan pendidikan dan evaluasi kebijakan pendidikan. Pembahasan dalam perumusan kebijakan pendidikan meliputi; lingkungan kebijakan pendidikan, aktor-aktor perumusan kebijakan pendidikan, masalah dan agenda kebijaksanaan pendidikan, formulasi kebijakan pendidikan dan problema-problemanya (Imron, 1996:31).
Lingkungan dan Aktor Kebijakan Pendidikan
Yang dimaksud dengan lingkungan kebijakan pendidikan menurut Anderson adalah “segala hal yang berada diluar kebijakan tetapi mempunyai pengaruh terhadap kebijakan pendidikan, pengaruh tersebut bisa besar, kecil, langsung, tidak langsung, laten, dan jelas” (Imron, 1996:31).
Yang termasuk lingkungan kebijakan pendidikan dirumuskan secara berbeda-beda oleh para ahli ilmu kebijakan pendidikan. Supandi (1988) menyebut lingkungan kebijakan meliputi; kondisi sumber alam, iklim, topografi, demografi, budaya politik, struktur sosial, dan kondisi ekonomik. Sementara yang dianggap paling berpengaruh terhadap kebijakan tersebut adalah budaya politik (Dalam Imron, 1996:32).
Orang-orang yang terlibat dalam perumusan kebijakan pendidikan negara disebut sebagai aktor perumusan kebijakan pendidikan. Sebutan lain dari aktor ini adalah: partisipan, peserta perumusan kebijakan pendidikan. Oleh karena itu kebijakan pendidikan mempunyai tingkatan-tingkatan (nasional, umum, khusus dan teknis), maka para aktor perumusan kebijakan disetiap tingkatan-tingkatan tersebut berbeda. Aktor tersebut yakni: Legislatif, Eksekutif, Administrator, Partai politik, Interest Group, Organisasi Massa, Peruruan Tinggi, dan Tokoh Perorangan (Imron, 1996:38-45).
Formulasi Kebijakan Pendidikan
Aktifitas sekitar formulasi adalah interaksi peranan antar peserta perumusan kebijakan pendidikan baik formal maupun non formal. Kapan suatu perumusan kebijakan pendidikan dianggap selesai? Suatu kebijakan dianggap final setelah disahkan oleh peserta perumusan kebijakan formal. Pengesahan tersebut dapat berupa penerbitan keputusan dan dapat berupa ketetapan. Dapat juga berupa undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang, dan peraturan pemerintah.
Agar rumusan kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan yang baik, haruslah memenuhi kriteria; Pertama, rumusan kebijakan pendidikan tidak mendiktekan keputusan spesifik atau hanya menciptakan lingkungan tertentu. Kedua, rumusan kebijakan pendidikan dapat dipergunakan dalam menghadapi masalah atau situasi yang timbul secara berulang. Hal ini berarti, bahwa waktu, biaya dan tenaga yang telah banyak dikeluarkan tidak sekedar dipergunakan untuk memecahkan satu masalah atau satu situasi saja (Imron, 1996:49).
Pengertian, Batasan dan Faktor Implementasi Kebijakan Pendidikan
Setelah kebijakan dirumuskan, disahkan dan dikomunikasikan, kepada khalayak kemudian dilaksanakan atau diimplementasikan. Implementasi ini, adalah aktualisasi kebijakan pendidikan yang telah disahkan, bergantung kepada bagaimana pelaksanaannya dilapangan. Tolak ukur keberhasilan kebijakan pendidikan adalah pada implementasinya. Sebaik apapun rumusan kebijakan, jika tidak diimplementasikan, tidak akan dirasakan gunanya. Sebaliknya sesederhana apapun rumusan kebijakan, jika sudah diimplementasikan, akan lebih berguna, apapun dan seberapa pun gunanya (Imron, 1996:65).
Yang dimaksud dengan implementasi kebijakan pendidikan adalah pengupayaan agar rumusan-rumusan kebijakan pendidikan berlaku didalam praktik. Nakamura (1988) memberikan batasan implementasi kebijakan pendidikan sebagai keberhasilan mengevaluasi masalah dan menerjemahkannya kedalam keputusan-keputusan yang bersifat khusus (Imron, 1996:65). Jones (1977) lebih banyak mengkritik batasan-batasan implementasi kebijakan. Ia sendiri mendasarkan konsepsi implementasi kebijakan berdasarkan aktifitas fungsional.
“Implementasi kebijakan pendidikan, ia katakan sebagai konsep yang dinamis, memerlukan usaha-usaha yang untuk mencari apa yang akan dan dapat dilaksanakan. Implementasi akhirnya dipahami sebagai pengaturan aktifitas yang mengarah pada penempatan program kedalam suatu dampak” (Dalam Imron, 1996:65-66).
Tiga aktifitas utama dalam implementasi kebijakan pendidikan ialah interpretasi, organisasi, dan aplikasi. Yang dimaksud dengan interpretasi adalah aktifitas menerjemahkan makna program kedalam pengaturan yang dapat diterima dan dijalankan. Organisasi adalah unit atau wadah yang dipergunakan untuk menempatkan program. Sementara aplikasi adalah konsekuensi yang berupa pemenuhan perlengkapan serta biaya yang dibutuhkan (Imron, 1996:65-66).
Supandi (1988) memberikan batasan implementasi kebijakan (implementasi kebijakan pendidikan) sebagai suatu proses menjalankan, menyelenggarakan atau mengupayakan agar altenatif-alternatif yang telah diputuskan didalam praktik. Berarti, rumusan-rumusan kebijakan yang umumnya abstrak tersebut, baru nyata dan kongkrit setelah diimplementasikan secara nyata. Meskipun demikian, Islami (1991) memandang lain mengenai implementasi kebijakan ini. Ia menyatakan bahwa ada kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan tersebut secara otomatis terimplementasikan dengan sendirinya.
“Meskipun banyak pula rumusan-rumusan kebijakan yang implementasinya harus diupayakan; atau tidak secara otomatis terimplementasikan. Kebijakan-kebijakan yang terlaksana dengan sendirinya lazim dikenal dengan self-executing, sedangkan kebijakan-kebijakan yang tidak secara otomatis terlaksana dengan sendirinya lazim dikenal dengan non self-executing” (Dalam Imron, 1996:66).
Berhasil tidaknya implementasi kebijakan pendidikan menurut Ali Imron ditentukan oleh banyak faktor. Faktor tersebut adalah :
1. Kompleksitas kebijakan-kebijakan yang telah dibuat. Semakin kompleks suatu kebijakan yang dibuat, semakin rumit dan sulit untuk diimplementasikannya.
2. Bila rumusan masalah kebijakan dan alternatif pemecahan masalah kebijakan yang diajukan dalam rumusan tidak jelas.
3. Faktor sumber-sumber potensial yang dapat mendukung pelaksanaan kebijakan.
4. Keahlian pelaksana kebijakan.
5. Dukungan dari khalayak sasaran terhadap kebijakan yang diimplementasikan.
6. Faktor-faktor efektifitas dan efisiensi birokrasi.
(Imron, 1996:76-77)
Oleh sebab itu analisis faktor yang dapat menentukan keberhasilan dalam implementasi kebijakan pendidikan sangat perlu untuk dijadikan pertimbangan utama oleh para penentu dan pelaksana kebijakan dilapangan.
Belum ada tanggapan untuk "Perumusan Kebijakan Pendidikan "
Posting Komentar