Pertanyaan kemudian adalah, apa atau siapakah audiens itu?
Istilah ‘audiens’ secara umum dan sederhana dapat diartikan sebagai sekumpulan orang yang menjadi pembaca, pendengar, penonton, pemirsa berbagai media dan komponen isi pesannya. Arti yang tampak sederhana itu mengandung berbagai cara yang berbeda untuk mengkaji kumpulan dan variasi orang, sepanjang waktu dan di antara berbagai tempat dalam masyarakat.
Akar persoalan yang menimbulkan masalah dalam mengkonsepsi audiens adalah hakekat dualitasnya. Apakah audiens merupakan kolektivitas yang terbentuk sebagai tanggapan terhadap isi media dan didefinisikan berdasarkan perhatian terhadap isi pesannya? Jika ‘ya’, maka asumsi ini mirip dengan asumsi proses efek kuat, di mana audiens sebagai pihak yang mudah distimuli oleh pesan media, mereka cenderung lemah dalam berhadapan dengan media.
Atau, audiens merupakan sesuatu yang telah ada dalam kehidupan sosial dan lantas ‘dilayani’ oleh provisi media tertentu? Jika seperti ini fenomenanya, maka audiens memiliki ciri-ciri yang sama dengan pandangan proses efek terbatas di mana audiens berada pada posisi sebagai pihak yang menentukan dirinya untuk memilih media dan isi pesan sesuai kebutuhan dan keinginannya, dan oleh karenanya, mereka berposisi sebagai pihak yang aktif dan perkasa dalam berhadapan dengan media. Atau, terkadang kedua macam fenomena (audiens pasif dan audiens aktif) menyatu pada saat yang sama, sama-sama sebagai audiens media yang sama?
Semua persoalan yang perlu dibahas di sini, dikaitkan dengan fakta bahwa audiens adalah baik sebagai penyebab dari, maupun sebagai reaksi terhadap pasokan pesan media. Keseluruhan persoalan ini berkaitan dengan seberapa jauh audiens merupakan kelompok sosial, kadar dan jenis aktivitas yang dapat dan memang dilakukan audiens, faktor-faktor yang menyumbang pembentukan audiens, dan seberapa jauh media ‘memanipulasi’ audiensnya, atau pada gilirannya media tanggap terhadap mereka? Oleh sebab itu kita perlu mengkaji konsep audiens itu sendiri, karena ia dapat muncul dengan berbagai nama atau istilah yang berbeda, atau dengan arti yang tidak sama untuk nama yang sama.
Asal historis gejala audiens telah memainkan peran yang besar dalam pembentukan berbagai penerapan konsep audiens. Semula audiens adalah sekumpulan penonton drama, teater, konser musik, hadirin khotbah di gereja dan sebagainya. Audiens telah direncanakan sebelumnya dan ditetapkan waktu serta tempatnya, dan seringkali disertai provisi khusus untuk memaksimalkan kualitas ‘penerimaan’ di kalangan audiensnya. Suasana lingkungan bagi audiens (teater, aula, gereja) umumnya dirancang dengan indikasi peringkat dan status sosial.
Audiens adalah pertemuan publik, berlangsung dalam rentang waktu tertentu dan terhimpun bersama oleh tindakan individual untuk memilih secara sukarela sesuai harapan tertentu untuk menikmati (kelucuan, ketegangan, keharuan dan sebagainya), mempelajari, mengagumi sajian dari penyelenggara pertemuan itu. Audiens juga dapat, atau, memang dikendalikan oleh pihak yang berwenang dan oleh karenanya merupakan bentuk prilaku kolektif yang dilembagakan.
Penemuan percetakan mendorong perkembangan ‘publik pembaca’ yang tersebar di tempat tinggal masing-masing. Perkembangan ini juga menimbulkan pembagian ekonomi lebih jelas antara si kaya dan si miskin, antara penduduk kota dan penduduk pedesaan. Perkembangan itu juga membantu pembentukan gagasan mendasar tentang publik sebagai sesuatu yang ada dalam masyarakat dan dibedakan menurut minat, pendidikan, aspirasi politik serta keagamaan tertentu. Komersialisasi lembaga percetakan mendorong beroperasi berskala besar, yang turut memperbesar skala publik.
Berkembangnya media elektronik turut membantu proses ‘peniadaan ruang’ audiens serta ‘pengikatan waktu bersama’ di kalangan audiens. Dengan meluasnya fungsi komunikasi massa, berkembang juga tuntutan akses, keikutsertaan kelompok-kelompok masyarakat, tanggung-gugat serta tanggung jawab social media, mencerminkan meluasnya kesadaraan masyarakat tentang pentingnya media dan berimplikasi pada hakekat audiens.
Pandangan proses selektif interaksional mengandaikan bahwa media dan audiens bersikap selektif dalam menentukan pilihan pesan media, seolah kedua belah pihak sama-sama memiliki posisi tawar dan tak tampak hubungan penguasaan oleh salah satu pihak.
Pandangan proses satu arah memperlihatkan gambaran yang sederhana di mana audiens berada pada posisi sebagai penerima pesan yang bersikap pasif. Model proses dua tahap memperlihatkan bahwa audiens media seolah hanya sejumlah kecil orang-orang yang berpengaruh dalam masyarakat. Pandangan proses banyak tahap memperlihatkan seolah audiens merupakan sejumlah besar anggota masyarakat yang kompleks dan yang di antara mereka berlangsung interaksi dan tidak saling terpisah, tak hanya berinteraksi dengan media (seperti dalam pandangan proses satu tahap).
Jika di saat-saat awal studi tentang komunikasi massa dalam masyarakat lebih banyak difokuskan pada studi tentang pesan dan tentang komunikator, maka perkembangan kemudian, studi komunikasi massa mulai memusatkan perhatian pada khalayak atau audiens. Oleh karena betapa signifikannya studi tentang audiens di masa kini, perlu diberi perhatian lebih dan dikembangkan pendekatan-pendekatan alternatif dalam memahami audiens. Pengembangan studi tentang audiens di samping memiliki signifikansi teoritis yang berkepentingan terhadap pengembangan teori, signifikansi praktis yang memiliki kepentingan terhadap pengembangan praktek komunikasi massa, juga signifikansi social yang berkepentingan terhadap kritik social maupun pemberdayaan audiens dalam berhadapan dengan kekuasaan media.
AUDIENS SEBAGAI PASAR
Secara teoritis, perkembangan kebudayaan mampu memunculkan audiens ‘asli’, perkembangan politik dapat memunculkan audiens sebagai public, dan perkembangan ekonomi-pasar sejak awal abad ke-20 memunculkan audiens sebagai pasar. Produk media merupakan komoditas yang ditawarkan kepada sekumpulan konsumen tertentu yang potensial, dan produk media bersaing dengan produk-produk lain. Fenomena ini berkembang sebagai akibat dari ekonomi pasar yang menuntut berkembangnya periklanan dan produk media melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan periklanan. Perkembangan ini sangat kuat terasa di Amerika Serikat di mana media hampir seluruhnya berorientasi komersial. Bahkan di sana audiens sebagai pasar diposisikan secara amat spesifik seperti halnya konsumen komoditas lainnya; misalnya wanita karier, eksekutif muda, para ABG, bahkan hingga penggemar golf, penggemar tinju dan lain sebagainya.
Audiens dalam konsep ini dipandang memiliki signifikansi rangkap bagi media; sebagai calon konsumen produk (media) dan sebagai audiens jenis iklan produk tertentu, di mana iklan merupakan sumber penting lain bagi pendapatan media. Dengan begitu, pasar bagi suatu produk barang tertentu juga merupakan pasar bagi produk media (program teve, rubrik majalah dan sebagainya), di mana media juga menjadi wahana beriklan bagi produsen barang tertentu. Meskipun media komersial perlu memandang audiensnya sebagai pasar dalam kedua arti itu dan kadang mencirikan audiens tertentu dalam hubungannya dengan gaya hidup dan pola konsumsi, ada sejumlah konsekuensi pendekatan dalam memandang audiens.
Pertama, pendekatan yang merinci hubungan media-audiens sebagai hubungan produsen-konsumen, dan karenanya hubungannya bersifat kalkulatif dari sudut pandang pihak media (produsen) dan bukan hubungan moral atau sosial seperti halnya dalam audiens sebagai publik. Kedua, pendekatan yang kurang menekankan hubungan sosial audiens yang bersifat intens: yakni sekumpulan individu dan konsumen yang sederajat, yang berbagi ciri demografis atau budaya tertentu. Dengan demikian perkembangan pendekatan hubungan sosial dengan studi audiens dan relevansi ‘opinion leader’, dengan keputusan konsumsi telah memodifikasi konsep ‘pasar’ ini, tetapi sebagian konsep tersebut masih tetap dipakai. Ketiga, karakteristik audiens yang paling relevan dengan cara berpikir ini adalah karakteristik sosial-ekonomi dan stratifikasi sosial. Keempat, dari perspektif pasar, fakta penting tentang audiens adalah perhatian dan prilaku mereka, terutama terungkap dalam tindakan berbelanja atau pembelian barang dan jasa, atau pilihan pemirsa, pendengar dan pembaca.
Data seperti itu menyediakan kriteria penting untuk menimbang keberhasilan atau kegagalan isi pesan media dan mengakibatkan kurangnya penekanan pada kriteria komunikasi yang efektif atau kualitas intrinsik dari komunikasi. Akhirnya, pandangan ‘pasar’ mau tak mau merupakan pandangan ‘dari media’. Kita tak pernah membayangkan bahwa kita sendiri ditempatkan dalam kategori pasar, atau diidentifikasi sebagai bagian dari ‘kelompok sasaran’ oleh media.
Sebagai ikhtisar, kita dapat mendefinisikan audiens sebagai pasar, sebagai ‘sekumpulan calon konsumen dengan profil sosio-ekonomi yang bisa diketahui, yang merupakan sasaran media atau pesan tertentu’. Ada kemiripan dengan konsep massa, karena pasar yang terbesar (seluruh populasi) juga mengandung ciri massa; tetapi konsep pasar jauh lebih memperhatikan diferensiasi di dalam keseluruhan audiens yang tersedia, dan menyangkut upaya mempertemukan produk media dengan kebutuhan dan minat audiens. Dalam konsep pasar, ada juga perhatian terhadap selera dan preferensi budaya, dan perhatian terhadap jumlah atau kriteria sosial-budaya semata. Di antara konsep-konsep audiens yang telah kita singgung (kelompok, publik, massa, masyarakat, komunitas, pasar), kesenjangan paling lebar terletak antara konsep ’pasar’ dan konsep ’publik’, karena keduanya sangat berbeda dalam hal asal muasal, jenis jatidiri, corak aktifitas (audiens) serta tujuan dan fungsi komunikasinya.
AUDIENS DALAM PANDANGAN PERSPEKTIF KRITIS
Dalam perspektif kritis, media dipandang bersikap manipulatif terhadap masyarakat. Oleh karenanya media dinilai berpengaruh kuat terhadap masyarakat – dan bahkan bentukan audiens sebagiannya merupakan hasil bentukan dari media dan bukan merupakan entitas yang telah ada sebelumnya. Pengaruh atau lebih tepatnya dampak media, bahkan bersifat massif; media mencipta individu-individu menjadi bagian dari massa yang pasif. Pernyataan-pernyataan keras sebagai ungkapan pemikiran kaum kritis, bisa ditengok ke pandangan para perintis teori Kritis seperti Horkheimer dan Adorno.
Adorno dan Horkheimer menawarkan sebuah pandangan tentang budaya industri yang merupakan penjelasan paling dalam dan paling merangsang tentang apa sebenarnya makna media, dan implikasinya terhadap nilai moral terutama nilai budaya. Menurut mereka, media tidak bernilai apa-apa selain barbarianisasi kemanusiaan, nilai seni, nilai sastra dan hampir semua hal lainnya yang seharusnya memiliki makna penting. Kesenangan yang ditawarkan media cuma berupa kebodohan-kebodohan. Adorno menegaskan, apapun tentang produk yang terlibat dalam, atau terinspirasi oleh media, hanya akan mengarah pada pengulangan dan lingkaran tambahan dalam proses barbarianisasi.
Menurut Adorno, keberadaan budaya industri memiliki arti bahwa kita menjadi tak bisa berimajinasi tentang perbedaan kualitatif antara lukisan Mona Lisa yang asli dan poster (Mona Lisa) yang tertempel di dinding; kita menghadapi kesulitan untuk menentukan kualitas estetik karya seni musik, juga karya seni lainnya. Adorno dan Horkheimer juga beranggapan bahwa beberapa hubungan sebab-akibat dan aksi-respons diasumsikan juga terdapat dalam hubungan media-audiens. Dengan kata lain, seolah bentuk media pada dasarnya terlibat dalam hubungan yang dialogis dengan audiensnya. Teks media bersifat dialogis karena media terlibat dalam hubungan dialog, dalam rangka memberi inspirasi berupa semacam respons kepada audiens. Persoalannya adalah apakah benar audiens betul-betul merupakan partner dialog yang berimbang; atau sebaliknya, mereka (audiens) telah diubah menjadi korban yang relatif pasif dan akan menerima saja apa yang diberikan kepada mereka.
Adorno dan Horkheimer menegaskan bahwa hubungan dialog media-audiens dalam budaya industri, sejatinya hanyalah monolog. Dalam pemikiran mereka tentang audiens, dengan jelas dirumuskan dalam tiga persoalan. Pertama, mereka menegaskan bahwa budaya industri melihat dan menciptakan audiens menjadi tunggal. Argumen ini mengisyaratkan bahwa budaya industri sendiri adalah budaya monolitik; maka audiens dalam budaya industri menjadi monolitik pula. Kedua, mereka menegaskan bahwa audiens monolitik dari budaya industri ini adalah massa yang pasif; mereka tidak aktif baik pada maupun untuk diri mereka. Ketiga, mereka menegaskan bahwa dalam massa audien tunggal, masing-masing individu merasa asing dengan individu lainnya. Menurut mereka, media komunikasi modern berdampak pengasingan.
Pernyataan-pernyataan Adorno dan Horkheimer tersebut perlu dicermati secara teliti. Di satu sisi mereka mengatakan bahwa media mengubah kita menjadi individu yang terasing. Di sisi lain mereka mengatakan bahwa media melakukan hal ini kepada semua orang. Paradoks ini menurut Adorno dan Horkheimer memiliki dua komponen. Pertama, paradoks itu berarti bahwa kita mengalami media (berinteraksi dengan media) seorang diri. Kedua, ini juga berarti bahwa media memperlakukan kita seolah kita semua sama. Kesimpulan mereka ketika menggabungkan kedua komponen itu adalah bahwa media berdampak menurunkan level seluruh individu, sehingga, dari sudut pandang budaya industri, semua individu betul-betul sama dalam semua hal penting.
Adorno dan Horkheimer menegaskan bahwa proses penurunan level audiens ini secara khusus bisa dilihat sangat jelas dalam kasus pemujaan terhadap bintang film atau bintang musik pop. Mereka menyatakan bahwa, trend hidup selebritis memiliki mekanisme sosial yang menurunkan level semua orang dan menonjolkan dirinya dengan cara apapun. Kaum selebritis, seolah merupakan contoh yang harus kita ikuti, dan jika kita tidak mengikuti dengan baik maka kita jadi orang yang dinilai kurang menarik. Kita semua direduksi sampai ke tingkat di mana kita menjadi sama seperti bintang yang satu atau lainnya. Dengan begitu, media memperlakukan kita sebagai bagian dari massa, dan media memaksa kita untuk bertindak dan berpenampilan seperti orang lain. Menurut Adorno dan Horkheimer, kita begitu lemah di hadapan budaya industri; akibatnya kita mengidolakan bintang film, khususnya ketika mereka muncul sebagai tokoh yang heroik. Menurut mereka, para bintang filmpun juga menjadi korban budaya industri. Dialektika ini bisa diambil sebagai dasar untuk melihat mitos ‘menarik sepanjang masa’, sebagai contoh kasus, adalah Merlyn Monroe, bintang Hollywood. Pada saat yang sama Monroe berperan sebagai model dan sekaligus sebagai korban mitos tersebut.
Paradoks selanjutnya adalah bahwa media mengasumsikan dan beroperasi dalam hubungannya dengan massa audiens yaitu individu-individu. Menurut analisis yang dibuat Adorno dan Horkheimer, media memberi program serupa kepada semua orang tanpa melihat posisi sosial dan budayanya. Media memperlakukan semua orang sebagai orang yang pada dasarnya sama, dan karena itu semua orang dianggap sebagai massa tunggal. Dan di sinilah paradoksnya; teknologi komunikasi, dan beberapa teks media, berdampak mengisolasikan masing-masing individu dari individu lainnya. Menurut Adorno dan Horkheimer, audien itu penting bukan karena mereka itu siapa, tetapi karena apa yang terjadi atas diri mereka. Audien itu penting, sebenarnya karena proses dehumanisasi yang dilancarkan dan t
Belum ada tanggapan untuk "PROSES KOMUNIKASI MASSA"
Posting Komentar