Strategi Komunikasi Massa.Paparan pada bab-bab terdahulu menunjukkan implikasi betapa beratnya tetapi pentingnya peranan seorang komunikator media massa. Karena itu ia harus berpikir secara konsepsional dan bertindak secara sistemik dan sistematik. Ia harus menyadari bahwa komunikasi massa yang ia geluti bersifat paradigmatik.
Paradigma adalah pola yang mencakupsejumlah komponen yang terkorelasikan secara fungsional untuk mencapai suatu tujuan. Pola beserta komponen-komponennya jelas dapat dapat diketahui dari formulaharold lasswell yang telah diketengahkan pada bab-bab terdahulu, bahkan pada bab ini juga. Dalam hubungan ini, Daniel lerner dalam karyanya “Communication system and social systems” dalam buku Wilbur Schramm “Mass Communications” menampilkan apa yang disebut paradigmatic question, yang berbunyi : “Who Says What How To Whom” (Siapa mengatakan Apa Bagaimana Kepada Siapa). Diantara Komponen-komponen komunikator, pesan dan komunikan itu, lerner menyelipkan kata “How” yang tidak ditampilkan oleh Lasswell. Dan dalam komunikasi “How” atau “Bagaimana” itulah yang menjadi permasalahan.
Suatu paradigma mengandung tujuan. Dan tujuan pada paradigma komunikasi adalah jelas seperti telah diketengahkan pada bab terdahulu dan diakui oleh semua ahli komunikasi, yakni : “mengubah sikap, opini atau pandangan, dan perilaku” (to change the attitude, opini and behavior), sehingga timbul pada komunikan efek kognitif, efek efektif, dan efek konatif atau behavioral.
Bagaimana caranya melakukan perubahan itu ? itulah justru yang problematik; karena itu diperlukn suatu strategi komunikasi.
Seorang ahli komunikasi bernama Laurence Brennan mengetengahkan sebuahformul yang dinyatakan sebagai landasan bagi strategis komunikasi yakni sebagai berikut :
“The COMMUNICATION with a PURPOSE and an OCCASION gives EXPRESSION to an IDEA which he CHANNELS to some RECEIVER from whom he gains a RESPONSE”.
(KOMUNIKASI dengan suatu TUJUAN dan suatu PERISTIWA memberikan ekspresi kepada suatu IDE yang ia SALURKAN kepada sejumlah KOMUNIKAN dari siapa ia memperoleh TANGGAPAN).
Brenan mengakui seperti ahli-ahli komunikasi lainnya bahwa formula komunikasi dapat disederhanakan menjadi communicator message receiver (komunikator-pesan-komunikan) tetapi demi efektifnya komunkasi perlu diperhatikan semua unsure yang terdapat dalam proses komunikasi-komunikator, tujuan peristiwa, ide, ekspresi, saluran/media, komunikan dan tanggapan. “Formula yang disederhanakan akan merupakan paradigma yang lemah, bila tanggapan ditiadakan”, kata brennan.
Apabila formula lasswell, lerner, dan Brennan itu kita tuangkan ke dalam bentuk bagan, maka kira-kira akan tampak seperti pada gambar 10.
1. Proses Komunikasi Massa
Dalam menyusun suatu strategi komunikasi untuk dioperasikan dengan taktik-taktik komunikasi sebagai penjabaran, pertama-taa ia harus menghayati proses komunikasi yang akan ia lancarkan, Sebagai mana telah disinggung pada bab terdahulu dalam prosesnya komunikasi harus berlangsung secara “berputar” (circular), tidak “melurus” (linear); ini berarti idenya sebagai ekspresi dari paduan dan peristiwa yang kemudian berbentuk pesan, setelah sampaikepada komunikan, harus diusahakan agar efek komunikasinya dalam bentuk tanggapan mengarus menjadi umpan balik. Dengan lain perkataan komunikator harus tahu efek atau akibat dari komunikasi yang dilancarkan itu; apakah positif sesuai dengan tujuan, apakah negatif. Jika setelah dievaluasi umpan balik komunikasinya itu positif, maka pola komunikasi yang sama dapat dipergunakan lagi untuk pesan lain yang harus dikomunikasikan; bila ternyata negatif, pada gilirannya harus diteliti factor-faktor penghambat yang menyebabkan kegagalan komunikasinya itu.
2. Komunikator Komunikasi Massa
Sebagai komunikator ia harus menyadari bahwa komunikator media massa bersifat melembaga (institutionalized communicator).
Sebagai konsekuensinya ia harus menyesuaikan ucapan atau tulisannya kepada sifat dan kebijaksanaan lembaga dan menyelaraskannya kepada system pemerintahan dimana lembaga itu beroperasi. Kesalahan dalam ucapan yang dilakukan seorang penyiar radio atau televisi, atau kesalahan tulisan yang dilakukan seorang wartawan surat kabar atau majalah, bisa menyebabkan eksistensi lembaga yang diwakilinya menjadi terancam.
Sebagai komunikator kolektif ia harus menyadari bahwa kemunculannya sebagai komunikator sebenarnya berkat dukungan orang-orang lain. Kemunculan seorang penyiar televisi dikarenakan dukungan pengaruh acara, juru kamera, juru suara, juru cahaya, dan teknisi lainnya. Kumandang suara seorang penyiar radio adaah sebagai akibat hasil kerja operator dan juru pemancar; penampilan tulisan wartawan adalah karena dukungan hasil karya redaktur meja, juru tata letak, dan staf redaksi lainnay. Oleh karena itulah kerja sama diantara mereka itulah menjadi mutlak.
3. Pesan Komunikasi Massa.
Berikutnya focus perhatian ditujukan pada pesan yang akan dikomunikasikan. Pesan (Massage) terdiri dari dua aspek, yakni isi atau isi pesan (the content of massage) dan lambing (Simbol) untuk mengekspresikannya. Lambing utama pada media radio adalah bahasa lisan pada surat kabar bahasa tulisan; ada juga gambar; pada film dan televise lamabang utaanya adalah gambar. Pesan yang disiartkan media massa bersifat umum, karena memang demi kepentingan umum. Penataan pesan tergantung pada media sifat yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Disini dimensi seni tampak berperan. Pada bab-bab terdahulu pula ditampilkan devinisi komunikasi massa dari severin dan tankard yang menyatakan bahwa komunikasi massa adalah sebagai keterampilan (skill), sebagian seni (art) dan sebagian ilmu (science). Tanpa dimensi seni menata pesan, tak mungkinlah media surat kabar, majalah, radio, televise, film, dapat memikat perhatian dan memukau khalayak, yang pada gilirannya mengubah sikap, pandangan dan perilaku mereka.
4. Media Komunikasi Massa
Yang dibahas disini ialah media massa yang memiliki ciri khas, yakni berkemampuan memikat perhatian khalayak secara serempak (simultaneous) dan serentak (instantaneous), yakni pers, radio, televisi, dan film. Mengapa hanya dibatasi pada media tersebut? Jawaban terhadap pertanyaan itu, ialah karena media itulah yang paling sering menimbulkan masalah dalam semua bidang kehidupan dan semakin lama semakin canggih akibat perkembangan teknologi, sehingga senantiasa memerlukan pengkajian yang seksama.
Dalam menyusun stategi komunikasi sifat dari media yang akan digunakan harus benar-benar mendapat perhatian, karena erat sekali kaitannya dengan khalayak yang akan diterpa.
Pers memiliki cirri khas dibandingkan dengan media masa lainnya. Yang penting bukan hanya sifatnya yang merupakan media cetak, tetapi khalayak yang diterpanya bersifat aktif, tidak pasif seperti kalau mereka diterpa media radio, televisi, dan film. Pesan melalui media pers diungkapkan dengan huruf-huruf mati, yang baru menimbulkan makna apabila khalayak menggunakan tatanaa mentalnya (mental set) secara aktif. Karena itulah berita, tajuk rencana, artikel, dan lain-lain, pada media pers harus disusun sedemikian rupa, sehingga mudah dicerna oleh khalayak. Oleh karena itulah pers memrlukan susunan bahasa yang khas yang disebut bahasa pers.
Kelebihan pers dari media massa lainnya, ialah bahwa media cetak itu dapat di dokuentasikan, diulangkaji, dihimpun untuk keperluan pengetahuan, dan dijadikan bukti otentik yang bernilai tinggi.
Radio, dalam hal ini siaran radio, sebagai media massa yang sifatnya khas dibandingkan dengan media massa lainnya, untuk strategi komunikasi perlu mendapat perhatian kekhasan cirinya itu. Kekhsannya ialah sifatnya yang audial, untuk indera telinga. Karena itu, khalayak ketika menerima pesan-pesan dari pesawat radio dengan tatanan mental yang pasif, bergantung pada jelas tidaknya kata-kata yang diucapkan penyiar. Oleh sebab itu dalam dunia radio siaran dikenal istilah Easy Listening Formula atau disingkat ELF.
Televisi yang muncul dimasyarakat diawal dekade 1960-an semakin lama semakin mendominasi komunikasi massa dikarenakan sifatnya yang memenuhi kebutuhan dan keinginan khalayak. Kelebihan televisi dari media massa lainnya, ialah sifatnya Audio Visual, dapat dilihat dan di dengar, “hidup” menggambarkan kenyataan, dan langsung enyajikan peristiwa yang tengah terjadi ketiap rumah para pemirsa.
Film, yakni film teatrikal, film yang dipertunjukan digedung bioskop, mempunyai persaamaan dengan televisi dalam hal sifatnya yang audio-visual; bedanya mekanik atau non elektronik dalam proses komunikasinya dan reaktif-edukatif persuasive atau non informative dalam fungsinya.
Demikianlah sifat-sifat media massa yang dalam strategi komunikasi perlu menjadi bahan pemikiran. Pada bab-bab terdahulu : media massa pers, radio, televisi dan film telah dibicarakan secara khusus. Mengapa hanya media itu saja yang diketengahkan ? alaannya telah disinggung dimuka, yakni karena semakin lama semakin canggih akibat perkembangan teknologi dan sebagai konsekuensinya acapkali menimbulkan dampak social yang memerlukan pengkajian secara seksama dari para ahli, bukan saja ahli komunikasi, tetapi juga ahli-ahli disiplin ilmu lainnya.
5. Komunikan Komunikasi Massa
Dalam startegi komunikasi, komunikan merupakan komponen yang paling banyak meminta perhatian. Mengapa demikian, karena jumlahnya banyak dan sifatnya heterogen dan anonym, sedangkan mereka harus dapat dicapai seraya menerima setiap pean secara inderawi dan secara rohani yang dimaksudkan dengan inderawi disini ialah diterimanya suatu pesan jelas bagi indera mata dan terang untuk indera telinga. Yang dimaksud dengan rohani ialah sebagai terjemahan dari bahasa asing “accepted”, yaitu diterimanya suatu pesan yang sesuai dengan kerangka referendinya (frame of referencenya), paduan dari usia, agama, pendidikan, kebudayaan, dan nilai-nilai kehidupan lainnya. Kerangka referensi tertentu menimbulkan kepentingan dan minat (interest) tertentu.
Berdasarkan hal-hal tersebut ada suatu pesan dari media massa yang diminati oleh seluruh khalayak, ada juga yang disenangi oleh kelompok tertentu, misalnya kelompok usia; anak-anak, remaja, dewasa; kelompok agama : Islam, Kristen, Budha, Hindu Bali, dan lain-lain. Kelompok etnis; Sunda Jawa, Aceh Menado, dan sebagainya.
Dengan demikian dalam menyusun strategi komunikasi harus ditentukan, rubric atau acara mana untuk sasaran khalayak (target audience) dan yang mana untuk sasaran kelompok (target groups) penentuan ini menimbulkan konsekuensi lain yang berkaitan dengan aspek sosiologis atau psikologis, yang kesemuanya itu demi efektivitas komunikasi.
Untuk strategi komunikasi massa, komponen komunikai yang massal dan kompleks itu memerlukan analisi yang seksama. Untuk membahas ini barangkali dapat dipergunakan teori Melvin L. DeFleur yang telah disinggung pada bab terdahulu. Dalam bukunya berjudul “Theories of Mass Communication”, ia mengemukakan empat teori yang masing-masing ia namakan Individual Differences Theory, Sosial Relationships Theory dan Cultural Norms Theory.
Individual Differences Theory menyebutkan bahwa khalayak yang secara selektif memperhatikan suatu pesan komunikasi, khususnya jika berkaitan dengan kepentingannya, akan sesuai dengan sikapnya, kepercayaan dan nila-nilainya. Tanggapannya terhadap pesan komunikasi itu akan diubah oleh tatanan psikologisnya.
Jika pandangan Individual Differences Theory mengenai proses komunikasi sesuai dengan penemuan-penemuan dalam psikologi umum, maka teori yang kedua yakni Sosial Categories Theory tampaknya bersumber pada teory sosiologi umum mengenai massa. Asumsi dasar dari teori Melvin L DeFleur yang kedua ini ialah bahwa meskipun masyarakat modern sifatnya heterogen, orang-orang yeng mempunyai sejumlah sifat yang sama akan memiliki pola hidup teradisional yang sama. Kesamaan orientasi dan perilaku ini akan mempunyai kaitan dengan gejala yang diakibatkan dengan media massa.
Teori yang ketiga Sosial Relationships Theory berdasarka “two step flow of communication” yang telah diketengahkan oleh paul lazarsfeld dan rekan-rekannya yang terkenal itu. Menurut teory tersebut, sebuah pesan komunikasi mula-mula disiarkan melalui media massa kepada pemuka pandapat. Pada gilirannya oleh pemuka pendapat ini pesan komunikasi tersebut diteruskan secara komunikasi antar pribadi kepada orang-orang yang kurang keterbukaannya terhadap media massa.
Cultural Norms Theory sebagai teori keempat yang diketangahkan oleh Melvin L. DeFleur pada hakikatnya merupakan anggapan yang mendasar bahwa melalui penyajian yang selektif dan penekanan pada tema tertentu; media massa menciptakan kesan-kesan pada khalayak bahwa norma-norma budaya yang sama mengenai topic-topik tertentu dibentuk dengan cara-cara yang khusus. Telah kita singgung dimuka ada tiga cara dimana media massa secara potensial mempengaruhi norma-norma dan batas-batas situasi perorangan :
Pertama : pesan komunikasi bias memperkuat pola-pola yang sudah ada (reinforce existing patterns) dan mengarahkan orang-orang untuk percaya bahwa suatu bentuk social dipelihara oleh masyarakat.
Kedua : media massa bias “menciptakan keyakinan baru (create new shared convictions) mengenai topik, denga topik mana khalayak kurang berpengalaman sebelumnya.
Ketiga media massa bias “ mengubah norma-norma yang sudah ada (change existing norms) dan karenanya mengubah orang-orang dari bentuk tingkah laku yang satu menjadi tingkah laku yang lain.
6. Efek Komunikasi Massa
Efek dari pesan yang disebarkan oleh komunikator melalui media massa timbul pada komunikan sebagai sasaran komunikasi. Oleh karena itu efek melekat pada khalayak sebagai akibat dari perubahan psikologis. Mengenai efek komunikasi ini telah disinggung dimuka, yakni diklasifikasikan sebagai efek kognitif (cognitive effect) efek afektif (affective effect) atau efek konatif yang sering disebut efek behavioral (behavioral effect).
Efek kognitif berhubungan dengan pikiran atau penalaran, sehingga khalayak yang semula tidak tahu, yang tadinya tidak mengerti, yang tadinya bingung merasa jelas. Contoh pesan komunikasi melalui media massa yang menimbulkan efek kognitif antara lain berita, tajuk rencana, artikel, acara penerangan, acara pendidikan, dan sebagainya.
Efek afektif berkaitan dengan perasaan. Akibat dari pembaca surat kabar atau majalah, mendengarkan radio, menonton acara televisi atau film bioskop, timbul perasaan tertentu pada khalayak. Prasaan akibat terpaan mesia massa itu bias bermacam-macam, senang sehingga tertawa terbahak-bahak, sdih sehingga mencucurkan air mata, takut sampai merinding dan lain-lain perasaan yang hanya bergejolak dalam hati misalnya, perasaan marah, benci, sesal, ketawa, penasaran, sayang, gemas, sinis, kecut, dan sebagainya. Contoh rubric atau acara media massa yang dapat menimbulkan efek efektif, antara lain : pojok, sajak, foto, cerita bergambar, cerita bersambung, sandiwara radio, drama televisi, cerita film, dan lain-lain.
Efek konatif brsangkutan dengan niat, tekad, upaya, usaha yang cenderung menjadi suatu kegiatan atau tindakan. Karena berbentuk perilaku, maka sebagimana disinggung diatas efek konatif sering disebut juga behavioral.
Efek konatif tidak langsung timbul sebagai akibat terpaan media massa, melainkan didahului oleh efek kognitif dan/atau efek efektif. Dengan lain perkataan, timbulnya efek konatif setelah muncul kognitif dan atau efek efektif.
Itulah beberapa contoh efek komunikasi massa yang perlu manjadi perhatian dala menyusun strategi komunikasi. Efek komunikasi menjadi indicator atau tolak ukur keberhasilan komunikasi.
Belum ada tanggapan untuk "Strategi Komunikasi Massa"
Posting Komentar