Farmakologi merupakan sifat dari mekanisme kerja obat pada sistem tubuh termasuk menentukan toksisitasnya. Jalur pemakaian obat yang meliputi secara oral, rektal, dan parenteral serta yang lainnya harus ditentukan dan ditetapkan petunjuk tentang dosis-dosis yang dianjurkan bagi pasien dalam berbagai umur, berat dan status penyakitnya serta teknik penggunaannya atau petunjuk pemakaiannya.
Bentuk sediaan dan cara pemberian merupakan penentu dalam memaksimalkan proses absorbsi obat oleh tubuh karena keduanya sangat menentukan efek biologis suatu obat seperti absorpsi, kecepatan absorpsi dan bioavailabilitas (total obat yang dapat diserap), cepat atau lambatnya obat mulai bekerja (onset of action), lamanya obat bekerja (duration of action), intensitas kerja obat, respons farmakologik yang dicapai serta dosis yang tepat untuk memberikan respons tertentu
Obat sebaiknya dapat mencapai reseptor kerja yang diinginkan setelah diberikan melalui rute tertentu yang nyaman dan aman seperti suatu obat yang memungkinan diberikan secara intravena dan diedarkan di dalam darah langsung dengan harapan dapat menimbulkan efek yang relatif lebih cepat dan bermanfaat.
MAKSUD DAN TUJUAN PRAKTIKUM
II.1. Maksud dan Tujuan
II.1.1. Maksud
Maksud dari praktikum kali ini adalah untuk mengetahui pengaruh beberapa cara pemberian obat terhadap absorpsi obat pada hewan uji.
II.1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengenal, mempraktekkan, dan membandingkan cara cara pemberian obat terhadap kecepatan absorpsinya, menggunakan data farmakologi sebagai tolak ukurnya
Selain pemberian topikal untuk mendapatkan efek lokal pada kulit atau membran mukosa, penggunaan suatu obat hampir selalu melibatkan transfer obat ke dalam aliran darah. Tetapi, meskipun tempat kerja obat tersebut berbeda-beda, namun bisa saja terjadi absorpsi ke dalam aliran darah dan dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Absorpsi ke dalam darah dipengaruhi secara bermakna oleh cara pemberian (Katzung, 1986).
Cara-cara pemberian obat untuk mendapatkan efek terapeutik yang sesuai adalah sebagai berikut:
Cara/bentuk sediaan parenteral
a. Intravena (IV) (Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, “onset of action” cepat, efisien, bioavailabilitas 100 %, baik untuk obat yang menyebabkan iritasi kalau diberikan dengan cara lain, biasanya berupa infus kontinu untuk obat yang waktu-paruhnya (t1/2) pendek) (Joenoes, 2002).
b. Intramuskular (IM) (“Onset of action” bervariasi, berupa larutan dalam air yang lebih cepat diabsorpsi daripada obat berupa larutan dalam minyak, dan juga obat dalam sediaan suspensi, kemudian memiliki kecepatan penyerapan obat yang sangat tergantung pada besar kecilnya partikel yang tersuspensi: semakin kecil partikel, semakin cepat proses absorpsi) (Joenoes, 2002).
c. Subkutan (SC) (“Onset of action” lebih cepat daripada sediaan suspensi, determinan dari kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan dimana terjadi penyerapan, menyebabkan konstriksi pembuluh darah lokal sehingga difusi obat tertahan/diperlama, obat dapat dipercepat dengan menambahkan hyaluronidase, suatu enzim yang memecah mukopolisakarida dari matriks jaringan) (Joenoes, 2002).
d. Intratekal (berkemampuan untuk mempercepat efek obat setempat pada selaput otak atau sumbu serebrospinal, seperti pengobatan infeksi SSP yang akut) (Anonim, 1995).
e. Intraperitonel (IP) tidak dilakukan pada manusia karena bahaya (Anonim, 1995).
Pemberian obat per oral merupakan pemberian obat paling umum dilakukan karena relatif mudah dan praktis serta murah. Kerugiannya ialah banyak faktor dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya (faktor obat, faktor penderita, interaksi dalam absorpsi di saluran cerna) (Ansel, 1989).
Intinya absorpsi dari obat mempunyai sifat-sifat tersendiri. Beberapa diantaranya dapat diabsorpsi dengan baik pada suatu cara penggunaan, sedangkan yang lainnya tidak (Ansel, 1989).
Pembahasan
Praktikum kali
ini mempalajari tentang pengaruh cara pemberian obat terhadap absorpsi obat
dalam tubuh (dalam hal ini pada tubuh hewan uji). Mencit dipilih sebagai hewan
uji karena proses metabolisme dalam tubuhnya berlangsung cepat sehingga sangat
cocok untuk dijadikan sebagai objek pengamatan. Sekedar informasi, selanjutnya
mencit hanya disebut sebagai hewan uji
Pemberian
obat pada hewan uji yaitu pertama melalui cara oral, intravena, subkutan,
intraperitoneal, dan intramuscular. Dengan cara oral (pemberian obat melalui
mulut masuk kesaluran intestinal) digunakan jarum injeksi yang berujung tumpul
agar tidak membahayakan bagi hewan uji. Kedua, pemberian obat dilakukan dengan
cara intravena yaitu dengan menyuntikkan obat pada daerah ekor (terdapat vena
lateralis yang mudah dilihat dan dapat membuat obat langsung masuk kepembuluh
darah). Ketiga, yaitu dengan cara subkutan (cara injeksi obat melalui tengkuk
hewan uji tepatnya injeksi dilakukan dibawah kulit). Keempat dengan cara
intraperitoneal (injeksi yang dilakukan pada rongga perut. Cara ini jarang
digunakan karena rentan menyebabkan infeksi). Yang kelima atau yang terkhir adalah
dengan cara intramuscular yaitu dengan menyuntikkan obat pada daerah yang
berotot seperti paha atau lengan atas.
Dosis obat
yang diberikan yaitu 35 mg/kgBB hewan uji. Untuk stock larutan, pada per oral,
intravena, intraperitoneal, dan subkutan menggunakan larutan 5 mg/ml. Sedangkan
untuk injeksi intramuscular menggunakan larutan dengan stock 20 mg/ml. untuk
data kelompok I, volume injeksi untuk oral, intravena, intraperitoneal,
subkutan, dan intramuscular secara berturut-turut adalah 0,3 ml; 0,15 ml; 0,15
ml; 0,13 ml dan 0,1 ml. Perhitungan volume injeksi yang diberikan berdasarkan
berat badan tiap hewan uji sehingga diperoleh hasil yang berbeda.
Dari hasil
pengamatan kelompok-kelompok, diperoleh onset dan durasi yang berbeda. Onset
merupakan waktu mulai timbulnya efek setelah pemberian obat. Durasi adalah
waktu lamanya efek sampai efek obat tersebut hilang. Dari pengamatan kelompok
I, berdasarkan onsetnya, injeksi dengan cara intramuscular memiliki waktu yang
tercepat dan yang paling lambat adalah injeksi dengan pemberian oral. Dari
pengamatan kelompok II, III, IV dan V berdasarkan onsetnya, injeksi dengan
intravena memiliki waktu yang cepat dan yang paling lambat yaitu injeksi dengan
cara oral. Dari data-data diatas dapat kita ketahui bahwa cara intravena
merupakan cara pemberian obat yang reaksinya paling cepat dan yang paling
lambat adalah cara oral. Cara intravena yaitu cara pemberian obat langsung
masuk kepembuluh darah, sehingga cara ini tentu saja lebih cepat memberikan
efek karena tidak melalui proses absorbsi dulu untuk masuk kesistem sistemik
dari pada cara-cara injeksi yang lain. Sedangkan cara oral merupakan cara
pemberian obat melalui pencernaan sehingga prosesnya berjalan lambat. Namun
seperti kita lihat pada data, hanya kelompok I yang memiliki onset yang
tercepat dengan pemberian intramuscular. Hal ini mungkin dikarenakan terjadinya
penambahan dosis menjadi dua kali lipat dari seharusnya yaitu menjadi 0,26 ml.
Untuk
durasinya, hasil pengamatan kelompok I, II dan IV efek obat yang paling cepat
hilang yaitu cara intraperitoneal dan yang efeknya lama yaitu cara intramuscular.
Untuk kelompok III, efek obat yang paling cepat hilang adalah cara intravena
dan yang paling lama efek obatnya dengan cara intramuscular. Sedangkan untuk
kelompok V cara pemberian dengan intraperitoneal memiliki efek yang cepat
hilang sedangkan cara oral yang efeknya paling lama hilangnya.
Secara
deskriptif perbandingan data kelas yang
menggunakan H0 = semua cara pemberian memberikan efek sama. Jika sig
> 0,05 maka H0 diterima, dan jika sig < 0,05 kama H0
ditolak.
Perbandingan
data kelas didapatkan sig 0,431 pada onset, dan 0,857 pada durasi. Keduanya
lebih dari 0,05 sehingga H0 diterima yaitu semua cara pemberian
memberikan efek yang sama. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara umum berbagai
cara pemberian (p.o, i.m, i.v, i.p) pada hasil percobaan tidak menunjukkan
perbedaan yang bermakna pada taraf nyata 95% (p < 0,05).
Belum ada tanggapan untuk "PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP ABSORPSI OBAT "
Posting Komentar