1. OBSTRUKSI JALAN NAPAS.
Obstruksi trakea seringkali terjadi sebagai akibat penekanan akibat keganasan yang berasal dari luar trakea, dan sering juga terjadi akibat lesi yang benigna. Sedangkan obstruksi dari bronkus lebih sering terjadi sebagai akibat keganasan dari endo-bronchus (bronchogenic carcinoma) tersebut. Metastase pada trakea ataupun bronkus adalah sangat jarang (kurang dari 2%). Obstruksi jalan napas dapat juga terjadi oleh karena tracheomalacia, stenosis pasca radioterapi.
Diagnosa.
Sulit untuk membedakan obstruksi tersebut pada trakea ataupun bronkus. Biasanya gejala dan tanda yang sering muncul adalah :
- dyspnea
- orthopnea
- batuk
- suara nafas berbunyi
- Stridor
- Suara serak / berubah
- Hemoptisis
Foto toraks dan foto leher (tehnik jaringan lunak) dapat membantu diagnosa obstruksi jalan napas, yaitu dengan melihat penyempitan trakea, tarikan terhadap trakea, bronkus, atelektasis dll.
Terapi.
Terapi darurat sangat diperlukan secepatnya untuk mencegah kematian.
Trakeostomi rendah dapat dilakukan pada cincin trakea bagian bawah, sedikit diatas manubrium sterni. Dalam keadaan stenosis trakea yang cukup panjang, sering kali diperlukan dilatasi dari stenosis, dan dipasang kanula trakeostomi yang cukup panjang (mungkin tidak tersedia di Indonesia), ataupun dengan pemasangan T-tube.
2. SINDROMA VENA CAVA SUPERIOR.
Vena vena besar pada rongga toraks sangat mudah mengalami kompresi dan obstruksi. Jika vena cava superior terbendung, maka seringkali terjadi efusi pleura, edema pada muka, kepala, extremitas bagian atas, dan trakea. Pada bentuk yang lebih berat lagi dapat terjadi edema otak, terjadinya pengisian atrium jantung ( gangguan “preload”). Tanda dan gejala yang muncul tergantung dari berat ringannya obstruksi pada vena cava superior, dan juga ada tidaknya obstruksi pada organ organ vital disekitarnya (trakea dll).
Pada umumnya SVC (“Superior Vena Cava Syndrome”) disebabkan karena keganasan pada rongga mediastinum. Angka pada literatur barat dikatakan kurang lebih 75 % disebabkan oleh keganasan pada paru, sedangkan sisanya disebabkan oleh karena limfoma, lesi benigna seperti TBC ataupun thrombosis vena o.k CVP. Di Indoensia angka ini belum jelas.
Diagnosa.
- edema dari muka
- adanya kongesti vena vena di leher, lengan atas
- Jika SVC terjadi secara perlahan-lahan, seringkali diagnosa lebih sulit ditegakkan, dan memerlukan pemeriksaan khusus seperti venografi, radioisotop.
- CT Scan dengan bantuan kontras, biasanya dapat memastikan lokasi dari obstruksi, dan kira kira penyebab obstruksi tersebut.
- Diagnosa histopatologi/ sitologi, didapatkan dari biopsi lesi yang dicurigai atau metastasenya, sitologi sputum, bronkoscopi, FNA (untuk limfoma, tumor paru).
- Bahkan kadang kadang tindakan yang lebih agresif seperti torakotom ataupun mediastinoscopi pun dilakukan.
- Seringkali tindakan untuk memastikan diagnosa ditunda agar keadaan darurat penderita dapat diatasi terlebih dahulu.
Terapi.
- Terapi sangat tergantung dari etiologi SVC.
- Dalam keadaan darurat, (adanya obstruksi trakea), maka diagnosa etiologi ditangguhkan.
- Radioterapi dengan dosis harian yang lebih tinggi merupakan terapi pilihan. (Biasanya diberikan 4.0 Gy perhari), sampai mencapai 30 - 50 Gy.
- Pada keganasan sistemik, maka kemoterapi merupakan pilihan yang lain. Pilihan kemoterapi sangat tergantung pada kecurigaan terhadap data histopatologi / sitologi ataupun kecurigaan kita.
- Kombinasi radioterapi dan khemoterapi merupakan pilihan yang diharapkan dengan cepat akan mengecilkan masa tumor yang menyebabkan kompresi.
- Kortikosteroid dosis tinggi merupakan obat yang hampir selalu diberikan, untuk mengurangi edema, dan reaksi inflamasi sebagai akibat tumor nekrosis ataupun lisis setelah pengobatan.
- Pengobatan untuk lesi benigna, seperti TBC statika, anti trombus diberikan sesuai etiologinya.
Prognosa.
Pada keganasan, umumnya “dubious ad malam” oleh karena adanya SVC menunjukan keadaan stadium yang telah lanjut.
3. SPINAL CORD COMPRESSION.
Kompresi medula spinalis hampir selalu merupakan kedaruratn onkologis, terutama jika gejala kerusakan neurologis terjadi secara cepat, oleh karena jika telah terjadi kelumpuhan atau paraplegia, maka harapan untuk pulih kembali menjadi semakin kecil.
Penekanan pada medulla spinalis sering terjadi pada metastase karsinoma mamma, paru, prostat, mieloma multiple, limfoma. Seringkali metastase tersebut terdapat pada epidura, ataupun pada corpus vertebrae, yang kemudian tumbuh menekan pada medula spinalis, ataupun menimbulkan fraktur kompresi pada vertebra, dan menekan medula spinalis.
Gejala Klinis Dan Diagnosa.
Sering kali gejala dan tanda yang muncul, bukan sebagai akibat langsung dari kompresi medulla spinalis, melainkan sebagai akibat dari “para - neoplastic syndrome”.
Gejala sebagai akibat langsung kompresi biasanya a.l :
- gejala awal yang muncul adalah rasa nyeri lokal pada daerah tumor / metastase. Nyeri dirasakan semakin bertambah jika penderita batuk, bersin, membungkuk dan sebagainya.
- Hal diatas diikuti dengan gangguan sensoris, seperti parestesia, anestesia, dingin, dan sebagainya.
- Gangguan motorik.
- Jarang dijumpai gangguan fungsi vegetatif.
Diagnosa ditegakkan dengan :
- Pemeriksaan foto polos x-ray, untuk melihat proses osteolitik, atau osteoblastik, fraktur kompresi.
- CT Scan
- Myelografi
- Pemeriksaan dengan bahan radioisotop.
- MRI, dikatakan mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.
- Pemeriksaan CSF tergantung ada tidaknya indikasi dan kontraindikasi.
Terapi.
Terapi terhadap kompresi medula spinalis yang disebabkan oleh metastase keganasan, sangat tergantung pada :
- sensitivitas keganasan tersebut terhadap radioterapi.
- Tersedianya ahli untuk melakukan dekompresi bedah.
- Level dari kompresi tersebut.
- Cepat lambatnya gangguan neurologis terjadi.
- Pernah tidaknya menjalani kemoterapi, dan sensitif tidaknya terhadap kemoterapi.
Sebagai dasar terapi yang dipilih adalah :
- Radioterapi. Meskipun hal ini bersifat paliatif. Adapun dasar pemilihan radioterapi, adalah pada umumnya tumor telah bersifat sistemik. Dosis radiasi perhari adalah harus cukup tinggi 3 - 4 Gy.
- Pembedahan dekompresi / laminektomi, biasanya dengan approach posterior, mengingat kausa kompresi adalah kolapsnya corpus vertebrae yang terletak didepan medulla spinalis. Sehingga pada laminektomi untuk dekompresi pada bagian posterior vertebra, akan lebih mengurangi stabilitas vertebra yang terkena. Pada kompresi didaerah servikal, maka dekompresi bedah cukup memegang peranan penting untuk mencegah terjadinya paralise pada otot otot pernafasan. Pada keadaan dimana tumor primer tidak diketahui, maka laminektomi dan pengambilan jaringan tumor, dapat bersifat paliatif dan sekaligus diagnostik.
- Corticosteroid (dosis tinggi : dexamethasone 4-10 mg / 6 jam), dapat mengurangi edema peritumoral dan memperbaiki fungsi neurologis.
- Kemoterapi. Terutama untuk keganasan yang telah diketahui sensitif terhadap kemoterapi.
- Gabungan dari semua modalitas diatas. Dilakukan pada keganasan dengan agresifitas yang tinggi, seperti “multiple myeloma”, “limfoma”, dsb.
Belum ada tanggapan untuk "DIAGNOSA DAN MANAGEMEN KEDARURATAN ONKOLOGIS"
Posting Komentar