Amerika Serikat sedang mengalami krisis keuangan terburuk sejak krisis keuangan atau depresi besar yang terjadi pada 1929.
Pada krisis keuangan kali ini Pemerintah Amerika Serikat melakukan penyelamatan terbesar sejak krisis 1929 berupa pemberian dana talangan atau bantuan likuiditas kepada industri keuangannya yang bermasalah sebesar USD700 miliar atau setara dengan Rp6.500 triliun (bandingkan dengan krisis keuangan Indonesia tahun 1998-1999 yang memakan biaya sekitar Rp650 triliun). Bantuan dana talangan ini diputuskan melalui perdebatan panjang selama dua pekan, melibatkan para anggota Kongres dan kantor kepresidenan. Pelajaran berharga apakah yang dapat ditarik dari krisis keuangan tersebut?
Manajemen Risiko
Manajemen risiko yang baik dan perilaku yang hati-hati (prudential behaviour) tetap selalu diperlukan oleh setiap lembaga keuangan, termasuk oleh lembaga keuangan yang besar dan kuat seperti Lehman Brothers yang pernah menjadi konsultan ekonomi Indonesia.
Tampaknya kelemahan di bidang manajemen risiko dan sikap yang kurang prudent menjadi penyebab utama timbulnya krisis keuangan di Amerika. Situasi ini diperburuk dengan diabaikannya unsur kualitatif di dalam manajemen risiko karena terlalu percaya pada unsur-unsur kuantitatif.
Bahkan krisis yang terjadi di Amerika ini diwarnai juga dengan perilaku yang manipulatif, serakah, penipuan dan koruptif. Misalnya oknum lembaga keuangan yang memperoleh komisi dari setiap transaksi yang dilakukannya. Hal ini sedang diselidiki oleh penegak hukum di Amerika Serikat.
Dengan terjadinya krisis ini kita dibuat sadar bahwa kita tidak boleh terlalu percaya pada reputasi atau mitos dari lembaga keuangan yang selama ini terkenal hebat dan "sakti" seperti Lehman Brothers. Manajemen risiko yang baik dan sikap yang hati-hati tetap diperlukan dalam pengelolaan dana masyarakat yang ada pada lembaga keuangan.
Keterlibatan Wakil Rakyat
Sejak awal terlihat bahwa penyelesaian krisis keuangan di Amerika Serikat melibatkan wakil-wakil rakyat yang ada pada Kongres yang terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (House of Representative) dan para senator (anggota Senat) yang mewakili seluruh negara bagian.
Keterlibatan wakil rakyat ini sangat penting dan esensial karena beberapa alasan. Pertama, penyelamatan sistem keuangan dilakukan untuk kepentingan umum dengan menggunakan uang rakyat (tax payer), sehingga wakil-wakil rakyat harus diikutsertakan.
Kedua, Kongres memiliki kewenangan legislasi (bersama presiden) dan berwenang mengawasi jalannya pemerintahan, sehingga melibatkan Kongres dalam penyelesaian masalah ini secara politis dan yuridis sangat menguntungkan untuk penyelesaian krisis.
Ketiga, dengan melibatkan Kongres yang di dalamnya ada anggota dari berbagai partai politik dan perwakilan negara-negara bagian, terlihat kekompakan legislatif dan eksekutif di dalam menyelesaikan masalah nasional yang berat itu.
Banyak kalangan mengakui bahwa penyelesaian krisis ini juga menunjukkan kerja sama terbaik antara Partai Republik yang berkuasa (eksekutif) dan Partai Demokrat yang menguasai Kongres. Kerja sama ini menunjukkan, walaupun dari partai berbeda mereka dapat bersepakat memecahkan masalah nasional.
Mereka menempatkan kepentingan nasional di atas kepentingan partai.Yang menarik adalah, walaupun partai yang berkuasa di Amerika Serikat berasal dari Partai Republik, tetapi sampai dengan putusan akhir Kongres masih ada sejumlah anggota Partai Republik yang tidak menyetujui pemberian dana talangan.
Di Indonesia, kekompakan seperti ini agak sulit dicapai karena berbagai kepentingan partai politik yang terlalu bervariasi-yang sering kali mengabaikan kepentingan rakyat banyak. Misalnya penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk mengatasi krisis yang terjadi sejak 1997 sampai sekarang belum tuntas walaupun sudah ada lima presiden yang memerintah sejak zaman Presiden Soeharto sampai pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Bahkan masalah BLBI ini dijadikan amunisi politik untuk menyerang lawan politiknya atau pemerintah yang sedang berkuasa. Sudah banyak sekali energi yang terbuang untuk menyelesaikan masalah ini, tetapi masalahnya tak kunjung selesai.
Penyelesaian krisis keuangan yang terjadi 1997-1998 itu juga menunjukkan ketidakkompakan elite politik bangsa ini. Pada awalnya penyelesaian hanya melibatkan unsur eksekutif saja, tanpa keikutsertaan DPR.
Belakangan keterlibatan DPR diperlukan untuk mengatasi perbedaan pendapat antara Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan mengenai penyelesaian biaya krisis yang dipergunakan untuk menyelamatkan industri perbankan, yaitu untuk membayar dana masyarakat pada bank-bank gagal dan rekapitalisasi perbankan.
Keterlibatan DPR ini sangat penting karena penyelesaian krisis melibatkan berbagai pihak dan menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Terlambatnya keterlibatan DPR membuat penyelesaian krisis menjadi lebih lama dan sulit.
Untuk masa yang akan datang, keterlibatan DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) perlu dilakukan sejak awal agar penyelesaian krisis memiliki dasar yang kuat dan dapat berjalan baik.
Dalam hal ini diperlukan satu undang-undang yang mengatur bagaimana penyelesaian yang harus dilakukan kalau terjadi krisis sistemik pada sektor keuangan seperti telah diamanatkan oleh Pasal 11 ayat (5) Undang-Undang No 23/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 3/2004 tentang Bank Indonesia.
Kurangnya Pengaturan
Di berbagai belahan dunia biasanya sektor keuangan sangat diawasi oleh pemerintah (highly regulated industry) karena ada kepentingan umum yang harus dilindungi. Walau demikian, ternyata untuk masalah kucuran kredit untuk sektor perumahan yang berkualitas kurang prima (subprime mortgage) yang berisiko tinggi, pengaturannya kurang ketat.
Bahkan ada upaya untuk melonggarkan ketentuan di bidang ini. Mungkin masih ada pengaruh paham liberal yang percaya bahwa pasar dan pelaku pasar tidak perlu banyak diatur. Ada invisible hand yang mengatur mekanisme pasar. Sikap mengendurkan pengaturan di bidang yang berisiko ini ternyata mengakibatkan dampak besar yang mengakibatkan ditutupnya berpuluh-puluh lembaga keuangan dan bank.
Hal ini sekaligus membuktikan kegagalan otoritas keuangan di Amerika Serikat. Karena itu karakter industri keuangan yang highly regulated seharusnya tetap dipertahankan karena banyak dana masyarakat yang dikelolanya.
Sehubungan dengan itu Bank Indonesia dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan perlu tetap mengeluarkan prudential regulation untuk melindungi industri dari risiko yang timbul dan akhirnya dapat merugikan kepentingan umum. (*)
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi
Yunus Husein
Kepala PPATK dan
Dosen Hukum Perbankan pada Fakultas Hukum Beberapa Universitas � (//mbs)
Belum ada tanggapan untuk "Pelajaran dari Krisis Keuangan Amerika "
Posting Komentar