Definisi Ilmu
Para ahli banyak berbeda pendapat dalam mendefinisikan ilmu. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan segi dalam melihat ilmu yang mereka definisikan. Namun, yang demikian itu tidak harus disebabkan oleh kerancuan pandangan dan pengertian – lihat definisi ilmu logika dan bab definisi. Dan para ahli itu sama-sama mengerti bahwa definisi mereka itu tidak bertentangan. Bahkan, ada yang menyatakan, dan ini yang paling kuat yang diikuti sampai sekarang, bahwa ilmu tidak bisa didefinisikan. Pernyataan yang dikemukakan oleh Mulla Shadra dan – setidaknya – Baba Afdhaluddin Kasyani. Karena pelanglangan kealam renungan perlu bekal yang cukup, maka komentar atas perbedaan pendapat itu kami tunda sampai pada kesempatan yang lain. Kemungkinan dalam mengenal filsafat, filsafat atau logika yang rinci. Bagi yang berminat untuk itu dan lain-lainnya kami anjurkan mengikuti terus pelajaran buku ini dengan seksama demi memperbanyak bekal seraya meminta ampun kepada Allah dan meningkatkan taqwa, demi membersihkan ruh kita dan mencapai yang kita cari – sebenarnya. Sebab yang kita cari bukan ilmu yang tertulis, melainkan ilmu yang didefinisikan oleh Imam Ali as bahwa, “Ilmu itu adalah cahaya yang Allah berikan dalam hati yang Ia kehendaki”. Sedangkan Allah berfirman, “Dan bertakwalah kamu kepada Allah niscaya Allah akan mengajari kamu.”(QS. 2:282)
Baiklah, kita kembali ke masalah pokok kita mengenai definisi ilmu. Dengan penjelasan terdahulu dapatlah dengan mudah kita mendefinisikan ilmu sebagai “Adanya Gambar Sesuatu Dalam Akal”.
Penjelasan
Kata “gambar” dalam definisi di atas, menunjukkan bahwa ilmu yang kita definisikan adalah ilmu hushuli bukan khudhuri. Sebab ilmu juga terbagi menjadi hushuli dan khudhuri.
1. Hushuli adalah pengetahuan terhadap sesuatu yang didapat oleh akal melalui gambarnya, bukan dianya. Misalnya, ilmu kita tentang manis, putih, wangi, panas, bunyi mobil dll. Perlu diketahui bahwa gambar sesuatu di sini merupakan lawan dari sesuatu itu sendiri, bukan gambar pada kata “gambar dinding” misalnya.
2. khudhuri adalah pengetahuan tentang sesuatu yang didapat oleh akal melalui diri sesuatu itu sendiri. Bukan gambarannya. Misalnya, pengetahuan (ilmu) kita tentang keadaan jiwa kita sendiri, dari keberadaannya, senang-susahnya, benci-cintanya dst.
Definisi Ilmu Logika
Dengan uraian terdahulu dapatlah dipahami bahwa definisi ilmu logika adalah: Ilmu yang membahas aturan-aturan umum tentang kebenaran berpikir.
Kadangkala dalam mendefinisikan sesuatu, kita melihat zat-zat yang dimilikinya. Kemudian kita jadikan zat-zat tersebut sebagai definisi. Definisi yang demikian disebut “definisi dengan batasan penuh”. Namun, kadangkala kita melihat hal-hal diluar zatnya yang ia miliki secara khusus. Kemudian kita jadikan sebagai bagian dari definisinya. Definisi yang demikian ini disebut “definisi dengan gambaran penuh”. Untuk lebih jelasnya lihat bab definisi dari buku ini.
Maka dari itu dalam kitab-kitab ilmu ahli logika, dalam mendefinisikan ilmu logika terdapat perbedaan. Perbedaan itu ada karena adanya kelainan segi dalam memandang ilmu logika dan kelainan tujuan dari definisi masing-masing. Contoh, Syeikh Muzhaffar dalam mantiqnya mengatakan bahwa ilmu logika adalah: “Alat pengukur (penguji) yang dengan memperhatikannya terjagalah pikiran dari kesalahan”.
Ibnu Sina sendiri dalam beberapa bukunya mendefinisikan ilmu logika ini dengan beberapa definisi. Ia melakukannya dengan pandangan yang berbeda dari setiap sudut yang memungkinkan, dan dengan tujuan-tujuan tertentu pula. Karena buku ini merupakan pemula – yang kami beri nama Ringkasan Logika Muslim – maka walaupun banyak hal yang harus kami sajikan dalam masalah definisi ilmu logika ini, terpaksa tidak dapat kami lakukan. Mudah-mudahan buku lanjutan dari buku ini dapat menyajikannya kepada saudara-saudara sesuai dengan rencana kami, Insya Allah. Alhasil, - kecuali sebagian definisi yang mungkin memang salah – perbedaan definisi dalam mendefinisikan apa saja dalam kitab para ahli ilmu logika atau filsafat, tidak menunjukkan adanya kerancuan pandangan terhadap hakekat sesuatu yang mereka definisikan. Artinya, semua definisi itu sudah sesuai dengan syarat-syaratnya.
Hubungan Ilmu Logika Dengan Ilmu-ilmu Lainnya
Perbedaan pendapat terjadi di kalangan ahli ilmu logika baik muslin atau non muslim dalam memposisikan ilmu logika. Ada yang mengatakan sebagai ilmu tersendiri, dan ada yang mengatakan pula sebagai ilmu alat. Artinya, ilmu yang digunakan dan dipersiapkan untuk ilmu-ilmu lainnya. Semacam pisau, yang dibuat dengan tujuan sebagai alat memotong. Tetapi, ada juga yang memadukan keduanya, yaitu dari satu segi sebagai ilmu tersendiri (mustaqil) dan dari segi lain sebagai ilmu alat.
Pada hakekatnya pikiran ketiga inilah yang benar. Sebab tidak dilihat dari segi pembahasannya – logika – mengenai aturan-aturan umum berpikir; di sini pembahasannya tersendiri. Namun, dilihat dari segi kegunaan ilmu logika sebagai alat guna menarik kesimpulan-kesimpulan universal bagi setiap ilmu, maka ia sebagai ilmu alat.
Kesimpulnnya, di samping ilmu logika sebagai ilmu tersendiri, ia juga sebagai alat bagi ilmu-ilmu yang lain. Hal inilah yang mungkin ingin diterangkan oleh para ahli ilmu logika muslim, termasuk Al-Farabi dan Ibnu Sina, sehingga mereka dalam beberapa buku karangan mereka sendiri, disatu tempat dengan tempat yang lainnya, berbeda mendefinisikan logika, yakni di satu tempat mengatakan sebagai ilmu tersendiri, dan ditempat lain mengatakan sebagai ilmu alat. Hal mana akhirnya, menimbulkan istilah bahwa ilmu logika itu adalah “ilmunya ilmu”. Begitu juga dikalangan non muslim istilah ini ada dan tersebar, seperti yang dikatakan Francis Bacon, “L’art de tous les arts” – lihat halaman 487 dalam Cours de la Philosophie, karangan Lahr.
Kesimpulannya, di samping sebagai ilmu, yang pembahasannya tersendiri, ilmu logika juga sebagai alat bagi ilmu-ilmu yang lain, apapun bentuk dan rupa ilmu-ilmu itu. Baik geografi, fisika, matematika atau filsafat dll.
Di sinilah kita harus pandai-pandai menerapkan ilmu logika ini dalam disiplin ilmu apa saja. Sebab tujuan pokonya adalah meluruskan pikiran kita dalam memikirkan bermacam masalah dan keilmuan.
PEMBAHASAN LAFAZH (KATA)
Sebenarnya yang diperlukan dalam pembahasan ilmu logika adalah makna dari suatu kata, bukan kata-kata itu sendiri. Akan tetapi, kita perlu membahas kata-kata itu secara umum – tanpa melihat dari segi bahasa tertentu. Hal itu disebabkan, adanya kata-kata diperlukan untuk mencapai makna, dan dalam memahamkan sesuatu, satu sama lain di antara kita memerlukan kata-kata.
Tujuan lain yng lebih penting dari itu adalah agar kita mempunyai gambaran dan pengertian penuh atas hakekat dam posisi lafazh itu sendiri, sehingga dalam mencari hakekat (essensi) sesuatu atau mempercayai suatu proposisi universal kita tidak dipengaruhi oleh bentuk rupa dan indahnya. Bentuk dan rupa kata-kata bias beragam, bahkan mungkin berubah walaupun dalam satu bahasa tertentu. Maka seandainya makna – hakekat – sesuatu kita ukur dengan kata-kata, maka hakekat sesuatu itu juga bisa beragam. Padahal hakekat (essensi) setiap sesuatu harus satu dan tidak beragam.
Perlu diketahui, bahwa salah satu dari pembagian wujud, adalah wujud dibagi menjadi Wujud Hakiki dan Wujud Bukan Hakiki (I’tibari).
1. Wujud Hakiki
Yaitu kewujudan sesuatu yang tidak dibuat-buat. Wujud hakiki ini dibagi menjadi dua:
(i) Wujud luar akal
Wujud luar akal adalah wujud yang ada diluar akal, semacam langit, rumah, pena dll. Wujud ini disebut dengan “wujud luar”. Maka dari itu untuk menyelamatkan dari kerancuan pembahasan, kadangkala para ahli logika mengatakan “Rumah khariji” (“rumah luar” atau “rumah luar akal”).
(ii) Wujud dalam akal
Wujud dalam akal yaitu gambar-gambar dari “wujud luar” yang ada di dalam akal kita. Semacam gambaran (ilmu) akal tentang langit, rumah dll. Wujud ini disebut wujud dzihni (“wujud dalam” atau “wujud dalam akal”). Untuk membedakan dengan wujud luar, para ahli logika kadangkala mengatakan “rumah dzihni” (“rumah dalam” atau “ rumah dalam akal”).
2. Wujud Bukan Hakiki
Yaitu wujud yang dibuat-buat. Wujud ini juga dibagi menjadu dua:
(i) Wujud kata (Lafazh)
Manusia – satu sama lain – untuk mengutarakan pikiran dan keinginannya tidak bisa selalu membawa makna-makna alias wujud luar. Bahkan, kadangkala tidak mampu melakukannya – misalnya ingin mengatakan bahwa laut itu luas, sedang ia ditempat yang jauh dari laut. Maka, manusia perlu kepada sesuatu yang lain, demi memudahkan komunikasinya. Kekuatan fitrahnya telah membuat manusia mampu membuat sesuatu yang diperlukannya tersebut.
Hasil buatan manusia inilah yang disebut “kata”. Wujud ini adalah wujud yang dibuat-buat oleh manusia sesuai dengan kesepakatannya. Karena itulah hasil kesepakatan tersebut berbeda antara kelompok dengan kelompok yang lain.
Kesepakatan yang dibuatnya telah membuat “kata” mempunyai hubungan erat dengan maknanya. Sehingga, ketika kita mendengar katanya – misalnya, “langit” – seakan kita melihat makna yang dikandungnya itu sendiri. Jadi, kata-kata berfungsi mendatangkan makna dalam akal pendengarnya.
(ii) Wujud tulisan (Katbi)
Dengan kata – hasil penemuannya – manusia belum dapat mencukupi segala keperluan komunikasinya, karena kata-kata hanya dapat dipakai dalam komunikasi jarak dekat atau langsung, sedangkan komunikasi yang diperlukannya mencakup yang tidak langsung. Karena keperluannya itulah akhirnya manusia membuat lagi sesuatu yang baru untuk melambangkan – mewakili – kata-kata itu, sehingga akhirnya mencapai makna. Inilah yang disebut “tulisan”.
Jadi, untuk mengutarakan pikiran dan keinginannya yang tidak langsung – kepada yang jauh atau akan dating – manusia menggunakan tulisan untuk mendatangkan kata-kata, yang dengan kedatangan kata-kata tersebut akan datang pula makna yang diinginkannya pada akal pembaca tulisannya.
Dalil
Ketika anda melihat asap, pikiran anda beralih pada suatu wujud lain, yaitu api. Hal ini tidak lain karena asap itu merupakan petunjuk atau pendalil terhadap wujud api tersebut.
Dengan contoh diatas kita dapat memposisikan – mengkhususkan – masing-masing bagian pada kejadian itu dalam posisi berikut:
1. Asap berfungsi sebagai pendalil.
2. Api berfungsi sebagai yang didalili.
3. Tabiat (sifat) asap yang membawa akal kita kepada api disebut sebagai dalil.
Begitulah, setiap yang anda ketahui – baik dari penglihatan, pendengaran, penciuman dan lain-lain – yang dengan mengetahuinya akal anda berpindah darinya kepada suatu yang lain, kita katakana sebagai pendalil, dan yang anda ketahui berikutnya sebagai yang didalili atau yang ditunjuki, sedangkan sifat yang dimiliki – yaitu yang memindahkan akal kita kepada yang didalili disebut dalil.
Dengan demikian kita dapat mendefinisikan dalil sebagai: Sesuatu yang kalau diketahui, akal akan mengetahui sesuatu yang lain.
Pembagian Dalil
Sebab dari perpindahan akal di atas, adalah pengetahuan akal itu sendiri terhadap eratnya hubungan di dalam akal antara pendalil dan yang di dalili. Sedang keeratan itu sendiri disebabkan oleh pengetahuan akal tentang keeratan keduanya di luar akal.
Karena keeratan keduanya – pendalil dan yang didalili – bermacam-macam bentuknya, maka dalil dibagi menjadi tiga: Aqliyah (secara akal), Natural (Thabi’iyah) dan wadh’iyah (peletakan), dan masing-masing dibagi menjadi bersuara dan yang tidak.
1. Dalil Aqliyah – Secara Akal
Dalil aqliyah adalah kalau keeratan antara pendalil dan yang didalili, di luar akal, merupakan keeratan zati atau hakiki, seperti efek dan pengefek. Ketika kita melihat bekas tapak kaki atau rambu di jalan yang keduanya merupakan efek, akal kita berpindah darinya kepada suatu yang lain, yaitu adanya orang yang berjalan atau adanya pembuat rambu – yang keduanya sebagai pengefek.
Maka, bekas tapak kaki dan rambu befungsi sebagai pendalil terhadap adanya orang yang berjalan atau pembuat rambu, dengan dalil akal. Hasil dalil akal tidak bisa berbeda pada setiap orang. Dalil akal ini dibagi menjadi dua:
(i) Dalil aqliyah yang bersuara
Yaitu yang pendalilnya berupa suara atau bisa didengar. Seperti kalau kita mendengar suara orang berbicara di luar rumah yang tak nampak, kita dengan pendengaran tadi dapat mengetahui adanya orang yang berbicara di luar rumah tersebut.
(ii) Dalil aqliyah yang tak bersuara
Yaitu yang pendalilnya tidak berupa suara. Seperti bekas tapak kaki, dan rambu jalan pada contoh di atas.
2. Dalil Tabiat (Thabi’iyah, Natural)
Dalil natural adalah kalau keeratan antara pendalil dan yang didalili, di luar akal, merupakan keeratan yang sesuai dengan tabiat manusia. Seperti kalau kita mendengar kata “aduh”, akal kita berpindah darinya kepada suatu yang lain, misalnya orang yang mengucapkan kata tadi kesakitan atau keheranan dan lain-lain.
Hasil dalil tabiat bisa berbeda sesuai dengan natural atau kebiasaan masing-masing orang, kelompok, suku, atau bangsa. Seperti kata “ah” bagi bangsa kita Indonesia bermakna kesal, kecewa dll. Namun, bagi orang Arab bermakna atau menunjukkan rasa sakit.
Dalil tabiat ini dibagi menjadi dua:
(i) Dalil tabiat yang bersuara
Yaitu yang pendalilnya berupa suara. Seperti “aduh” pada contoh di atas.
(ii) Dalil tabiat yang tidak bersuara
Yaitu yang pendalilnya tidak bersuara, seperti pucat pada wajah, yang bermakna orang tersebut malu, takut dan lain-lain.
3. Dalil Peletakan (Wadh’iyah)
Dalil peletakan adalah kalau keeratan antara pendalil dan yang didalili merupakan keeratan yang timbul karena pengistilahan atau peletakan, yang menjadikan adanya salah satu dari keduanya – pendalil – sebagai dalil terhadap wujud yang lain – yang didalili. Seperti kata “buku” mempunyai hubungan erat dengan maknanya karena peletakan, bukan hubungan hakiki atau natural. Dengan dasar bersuara atau tidaknya dalil ini juga dibagi menjadi dua:
(i) Dalil peletakan yang bersuara, yaitu yang pendalilnya berupa suara. Semacam kata “buku” pada contoh di atas.
(ii) Dalil peletakan yang tidak bersuara, yaitu yang pendalilnya tidak berupa suara. Semacam kata “buku” yang dituliskan , atau semacam rambu jalan, misalnya penunjukan tanda berhenti, belok kanan, dan lain-lainnya.
Peringatan!
Dengan melihat rambu-rambu jalan, kita dapat mengetahui dua hal. Pertama, kita mengetahui bahwa ada orang yang membuat rambu-rambu tersebut. Dalil yang demikian adalah dalil aqli.
Kedua, kita mengetahui bahwa kita disuruh berhenti atau belok kanan, misalnya. Maka dalil ini adalah dalil peletakan.
Dalil Kata Peletakan
Dengan penjelasan terdahulu dapat dipahami bahwa perpindahan akal dari suatu kata kepada maknanya – pada dalil peletakan – terjadi karena hubungan yang sangat erat antara keduanya. Sehingga kalau kita mendengar katanya seakan kita melihat maknanya. Begitu pula kalau kita melihat maknanya seakan datang pula kata itu pada pikiran kita. Perpindahan itu bisa terjadi hanya pada akal yang mengetahui hubungan keduanya.
Dengan demikian kita dapat mendefinisikan bahwa dalil kata peletakan (wadh’iyah) – yang bersuara atau tidak – adalah “Suatu kata yang dengan mengetahuinya dari pembicara atau penulis – dapat mengetahui makna yang dimaksud.
Pembagian Dalil Kata
Dilihat dari segi cocok tidaknya suatu kata pada maknanya, kata dibagi menjadi tiga:
1. Dalil kata cocok (muthabiqiyah)
Dalil kata cocok adalah kata yang menjadi pendalil terhadap seluruh makna yang memang telah diletakkan semula. Seperti, pendalilan kata “buku” terhadap seluruh maknanya. Maka masuklah kulitnya, tulisan atau gambarnya, dan seluruh kertasnya.
“Dalil cocok” ini sebenarnya merupakan asal dari peletakan suatu kata. Sedangkan kedua dan ketiga dalam pembagian berikut merupakan cabang dari dalil cocok ini.
2. Dalil kandungan atau bagian (tadhamuniyah, implication)
Dalil kata kandungan adalah kata yang menjadi pendalil terhadap sebagian makna awal. Misalnya pada kalimat “buku anda merah”, kata “buku” hanya menjadi pendalil terhadap kulitnya saja.
3. Dalil kata kelaziman (iltizam, concomitance)
Dalil kata kelaziman adalah kata yang menjadi pendalil terhadap suatu makna yang bukan maknanya, baik cocok atau bagian, namun merupakan kalaziman makna asalnya. Seperti pendalilan kata air terhadap gelas pada kalimat, “berilah aku air”.
Syarat-syarat dalil kata kelaziman antara lain:
1. Kelaziman antara arti kata dan arti kelazimannya merupakan kelaziman dalam akal. Jadi, kelaziman keduanya tidak boleh hanya di luar akal.
2. Kelaziman antara keduanya harus merupakan kelaziman yang jelas; yakni begitu menggambarkan makna pertama, ia – akal – langsung dapat menggambarkan makna kedua yang menjadi kelazimannya.
Belum ada tanggapan untuk "Definisi Ilmu dan logika"
Posting Komentar