Hawa Nafsu (Al-Hawa>)
Dari segi bahasa hawa nafsu (al-hawa> atau hawa> an-nafs) atau kata-kata yang seakar dengan dengannya mengandung makna rendah, jatuh dan menjatuhkan, keinginan, kesenangan, juga angin, bertiup. Hawa> mengadung makna positif seperti cinta, dan mendaki atau naik.
[1] Yusuf Ali tampaknya merujuk juga kepada makna bahasa, sehingga ia menyetujui makna al-hawa> sebagai "goes down (or sets)", or "rise."
[2] Al-hawa> diartikan sebagai syahwat hati (lust of heart), keinginan (desire, seperti vain desire, lower desire), keingainan yang besar, nafsu (passion atau impulse), juga diterjemahkan dalam bentuk kata kerja sebagai melakukan sesuatu yang membinasakan (do perish, seperti dalam Qs. 20:81) dan menjadi rendah, atau melakukan perbuatan yang membuat seseorang secara spiritual menjadi rendah (go down, seperti dalam Qs. 53:1). Dapat juga dikatakan bahwa al-hawa> adalah keinginan-keinginan rendah, nafsu-nafsu duniawi, kehendak jahat, dan syahwati.
Dari segi istilah, Majdi al-Hilali> menyebutkan bahwa hawa nafsu (al-hawa>) berarti sesuatu yang nafsu cenderung kepadanya.
[3] Berdasarkan pengertian singkat ini, al-hawa> terkesan dibedakan dengan nafs, namun berhubungan dengannya.
[4] Nafs memiliki kecenderungan, sementara al-hawa> merupakan objek atau sasaran kecenderungan nafs. Namun, kebanyakan penulis justeru menekankan hawa nafsu ini dalam pengertian nafsu jahat, atau kejahatan-kejahatan nafsu. Sementara itu, Yusuf Ali seringkali menerjemahkan dan menafsirkan al-hawa> dalam pengertian jiwa yang mementingkan diri sendiri (selfish soul) dan kehendak duniawi (earthly desire atau worldly desire).
Karakteristik
Al-Qur'an memakai istilah al-hawa> ini secara tersendiri sekitar 38 kali.
[5] Di bawah ini dijelaskan mengenai karakteristik hawa nafsu sebagaimana al-Qur'an menggunakan dan memaknainya, yaitu:
(1) Al-Qur'an menggunakan kata al-hawa> dalam arti kosong,
[6] turun,
[7] hancur,
[8] dan jurang neraka.
[9]
(2) Hawa nafsu adalah keinginan diri atau keinginan yang berasal dari diri (nafs);
[10] juga keingainan yang berasal dari lubuk hati (fu'a>d, af‘idah).
[11] Keinginan dari dalam diri (nafs) merupakan keinginan kepada keburukan; sedangkan keinginan dari lubuk hati merupakan keinginan kepada hal yang positif, kecuali jika hati telah dibuat lalai oleh Allah.
(3) Berulang kali disebutkan larangan dan celaan mengikuti hawa nafsu (al-hawa>), dan celaan yang lebih keras ditujukan kepada mereka yang menyembah atau mempertuhankan hawa nafsu. Larangan dan celaan ini terjadi karena hawa nafsu memiliki karakter atau secara relasional bertentangan dengan kebenaran, keadilan, kebaikan, petunjuk atau bimbingan, iman, dan ilmu. Hawa nafsu juga menempati posisi yang bertentangan atau menentang Allah serta agen-agen spiritual, seperti nabi dan rasul Allah.
[12]
(4) Hawa nafsu di samping bertentangan dengan hal-hal yang positif; sebaliknya, juga berhubungan dengan atau merupakan suatu kejahatan dan keburukan. Di antaranya adalah bahwa hawa nafsu mendorong kepada kesombongan diri, menolak kebenaran, menolak keadilan, menolak petunjuk, sesat dan menyesatkan, mengada-ada dengan larangan dan perintah Allah, menjual agama, kurang ajar kepada Allah, menoleh kepada yang rendah dan duniawi.
[13]
(5) Mengikuti hawa nafsu mengandung pengertian berbuat kezhaliman terhadap diri sendiri. Hal ini, karena mengikuti hawa nafsu mengakibatkan rusaknya fakultas-fakultas spiritual, seperti pendengaran, penglihatan, dan hati.
[14] Oleh karena itu, mengikuti hawa nafsu, di samping mengakibatkan tertutupnya rahmat dan pemeliharaan Allah, juga akan mendatangkan kebinasaan.
[15]
(6) Keadaan yang paling buruk diandaikan oleh al-Qur'an, yaitu jika kebenaran (al-haqq), yang menurut hukum spiritual seharusnya selalu berada pada struktur atas spiritualitas, harus mengikuti hawa nafsu (al-hawa>), yang menempati struktur terendah spiritualitas, maka segalanya akan kacau dan musnah. Dengan demikian manusia yang mengikut hawa nafsunya dengan sendirinya berarti mengacaukan struktur spiritualitas dirinya dan akan merusak segalanya dalam kehidupan spiritual.
[16]
Dengan demikian, dalam perspektif al-Qur'an hawa nafsu berupa keinginan-keingainan atau sesuatu yang diinginkan oleh manusia hanyalah keinginan-keinginan kosong, sesuatu yang tidak berguna dan sia-sia. Bahkan lebih dari itu, keinginan-keingainan hawa nafsu hampir selalu bersifat menjatuhkan spiritualitas manusia, atau memilih sesuatu yang dapat menyesatkan dan merusak spiritualitas. Spiritualitas dibangun dan ditingkatkan degan mengikuti jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, dan petunjuk; sedangkan hawa nafsu sebaliknya menarik semakin rendah spiritualitas manusia dengan perhatian-perhatiannya yang mengarah ke dunia rendah atau keinginan-keinginan rendah.
Oleh karena itu, sangatlah wajar jika Allah dalam al-Qur'an senantiasa mengingatkan manusia agar tidak mengikuti hawa nafsu atau semata-mata keinginan diri (selfish desire), melainkan menyesuaikan kehendak dan keinginannya dengan mengikuti Kehendak-Nya. Defek utama mengikuti hawa nafsu adalah rusaknya—dengan sendirinya menjadikan tidak berfungsi—fakultas-fakultas spiritual. Inilah defek mengikuti hawa nafsu. Fakultas-fakultas spiritual yang sudah rusak dengan sendirinya pula akan merusak keteraturan dan keseimbangan dalam kehidupan manusia secara keseluruhan.
Para penulis spiritualitas selalu memberikan perhatian yang besar kepada hawa nafsu ini, sama dengan perhatian besar kepada makhluk spiritual penyesat, yaitu Iblis dan setan. Menurut beberapa penulis, seperti Sachiko Muarata dan William C. Chittick, kedudukan setan dalam makrokosmos paralel atau analog dengan kedudukan hawa nafsu dalam mikrookosmos. Dari segi lain, berbagai godaan setan—makhluk makrokosmos—hanya mungkin apabila ia memiliki lokus atau wilayah yang dapat dikuasai di dalam diri manusia.
[17] Oleh karena itu, eksistensi setan dan hawa nafsu selalu terkait, di mana tidak mungkin eksis salah satunya tanpa yang lain, dan hal ini di satu sisi mencerminkan keteraturan tatanan dunia ciptaan Allah.
Penutup
Hubungan-hubungan analogis dalam berbagai tataran eksistensial antara manusia dan kosmos menunjukkan bahwa manusia yang mewakili keseluruhan (totalitas, jam’iyyah) dapat melakukan apa saja kepada kosmos yang mewakili bagian dari keseluruhan. Manusia karenanya dapat mengacaukan kosmos di samping mampu menjamin harmoni alam semesta. Pendidikan yang baik adalah yang dapat menjalankan peran membimbing manusia untuk membantunya memahami kesempurnaan diri dan untuk bertindak menurut ajaran Allah. Kesempurnaan ciptaan manusia mengikuti hukum ketentuan Allah yang disebut al-amr at-takwi>ni> (Perintah Penciptaan), sedangkan ketentuan Allah dalam wahyu yang mengajarkan manusia untuk menyelaraskan kesempurnaan penciptaannya disebut al-amr at-takli>fi> (Perintah Petunjuk). Dengan demikian pendidikan agama tetap bersifat substansial dan signifikan untuk dijalankan. Argumen yang paling jelas bagi perlunya pendidikan agama ini adalah bahwa dengan bermodalkan kesempurnaan penciptaan, manusia seringkali malah menempuh jalan menyimpang yang justeru merusak kesempurnaan diri sekaligus pada saat yang sama berarti mengacaukan keseimbangan psikologis dan kosmologis.
Hubungan-hubungan aktif-reseptif yang selaras pada kosmos dan pada diri manusia menunjukkan bahwa baik dalam diri manusia maupun alam semesta, bahkan dalam Diri Allah. Sifat-sifat jala>liyyah Allah bersifat aktif, sementara sifat-sifat jama>liyyah-Nya bersifat reseptif. Namun, terbukti sifat-sifat jama>liyyah-Nya melampaui sifat-sitaf Jala>liyyah-Nya, seperti dalam hadis qudsi disebutkan: “Rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku.” Menguasai alam semesta adalah aktualisasi aktivitas manusia; namun memeliharanya dengan penuh kasih sayang adalah sikap mulia yang harus diutamakan. Mengapa? Karena dengan kasih sayang, segala keutamaan kosmos akan terbentang sebagai anugerah yang menguntungkan kehidupan manusia. Demikian juga, dalam konteks psikologi manusia, ruh, akal, dan hatinya yang berada pada struktur atas atau tinggi dari spiritualitasnya bersifat aktif dalam hubungannya dengan struktur bawah, yaitu nafs. Nafs pada saat yang sama harus bersifat reseptif terhadap cahaya cari tataran atas spiritualitasnya, bukan malah sebaliknya menjadikan kecenderugan-kecenderungan rendahnya menjadi acuan.
Dalam hubungan-hubungan aktif-reseptif ini, dalam kerangka pendidikan, teraktualisasi misalnya pada perlunya kepemimpinan progresif dan aktif dalam hubungannya dengan warga, sementara warga perlu bersikap reseptif dalam hubungannya dengan pemimpin. Sikap reseptif ini penting di samping untuk membentuk keselarasan kosmologis pada sebuah dunia, juga untuk memberikan kesempatan kepada pimpinan untuk menunjukkan pengabdiannya kepada seluruh warga. Namun, sebagai manusia yang membawakan totalitas, setiap manusia apa pun kedudukannya dalam struktur harus dapat memelihara sikap-sikap akktif-reseptif ini, seperti hanya Allah yang bukan saja memberi tetapi juga menerima. Allah mencurahkan rahmat, sekaligus juga menerima tawbat.
Hubungan-hubungan atas-bawah yang terdapat di dalam kosmos dan di dalam diri manusia menunjukkan bahwa dalam kerangka kependidikan, setiap manusia memiliki kesempatan yang sangat luas untuk meningkat ke taraf setinggi-tingginya; dan sebaliknya untuk menurun kepada taraf serendah-rendahnya. Kenyataan ah}sani taqwi>m-nya menyiratkan peluang naik ke atas, sebaliknya asal kejadian dari tanahnya membuka peluang kembali ke asal kejadian sebagai makhluk mati. Dengan demikian, pendidikan haruslah menghidupkan, sekaligus meningkatkan taraf kemanusiaan, dan sebaliknya juga menjaga dekadensi dan stagnasi kehidupan. Pendidikan menentukan tercapainya al-insa>n al-ka>mil yang substansinya berada pada ruhnya, yang sekaligus menyiratkan jati dirinya yang mulia dan tinggi, yang dapat menjalankan peran sentralnya di dalam kosmos sebagai penyelaras. Inilah yang tersimpul dalam tugas kekhalifahannya di muka bumi ini. Walla>hu a’lam
_____________
Manusia selalu memiliki hawa nafsu akan tetapi hawa nafsu yang tidak terkendali adalah awal dari bencana. Salam
BalasHapusCara menghilangkan hawa nafsu
Manfaat Berpuasa - Cara Puasa Yang Baik