Untuk menganalisis suatu peraturan daerah perlu dicermati terlebih dahulu hal-hal yang penting dan hal-hal yang menjadi suatu ketentuan (prosedural) di dalam pembuatan suatu perda. Salah satu contoh mengenai dasar-dasar untuk menciptakan suatu peraturan daerah yang baik, dalam artian dimana perda yang dibuat harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, apakah perda tersebut tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, serta perda yang dibuat apakah sudah sesui dengan keadaan masyarakat yang akan melaksanakannya.
Dalam pembuatan perda jika kita tinjau dari hirarki perundang-undangan yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yaitu stufentheorie. Yang mangatakan bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar. Seiring berkembangnya ilmu dalam dunia hukum teori ini berkembang dan dikembangkan oleh Nawiasky yang menegaskan bahwa terdapat empat kelompok besar norma yang secara berurutan dari atas ke bawah yaitu norma fundamental atau norma dasar, undang-undang formal, dan aturan pelaksana yang sejajar dengan aturan otonomi. Norma fundamental ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat. Aturan dasar merupakan aturan-aturan yang bersifat pokok, masih umum, masih dalam garis besar, dan masih merupakan norma tunggal yang belum disertai dengan norma sekunder. Aturan pelaksana yang sejajar dengan aturan otonomi berfungsi menyelenggarakan ketentuan-ketentuan Undang-Undang. Dalam hal ini juga dikemukakan mengenai perbedaan antara aturan pelaksana dan aturan otonom adalah aturan pelaksanaan berdasarkan delegasi, sedangkan aturan otonom berdasarkan atribusi wewenang membentuk peraturan perundang-undangan. Atribusi dalam hal ini membentuk peraturan perundang-undangan adalah pemberian wewenang membentuk peraturan perundang-undangan yang diberikan Undang-Undang Dasar (UUD) dan Undang-Undang (UU) kepada suatu lembaga negara atau pemerintah. Wewenang itu melekat terus menerus sehingga dapat dilaksanakan setiap saat dengan tepat dengan memperhatikan batas-batas yang diberikan. Sedangkan delegasi membentuk peraturan perundang-undangan adalah pelimpahan wewenang pembentukan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Wewenang ini diberikan hanya untuk sementara, sehingga wewenang tersebut hanya diwakilkan.
Selain itu juga dalam membentuk suatu peraturan yang perlu diingat bahwa adanya suatu aturan yang tergolong harmonis, hal ini penting untuk menciptakan suatu aturan yang pada nantinya tergolong ideal. Pembentukan peraturan perundang-undangan yang harmonis dan mudah diterapkan dimasyarakat merupakan salah satu pilar utama bagi penyelenggaraan suatu negara. Apabila kita membicarakan ilmu perundang-undangan, maka kita juga akan membicarakan mengenai proses pembuatan peraturan perundang-undangan tersebut dalam suatu negara, dan sekaligus seluruh peraturan-peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan negara, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah.
Hal yang jarang diperhatikan mengenai asas-asas dalam pembentukan hukum peraturan perundang-undangan, dikemukakan oleh Attamimi ada 3 (tiga) camam mengenai asas-asas pembentukan perudang-undangan, sebagai berikut:
1. Asas cita hukum Indonesia, yaitu Pancasila disamping sebagai rechtsidee yang juga merupakan norma fundamental negara.
2. Asas bernegara berdasarkan atas hukum dan asas pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi. Berdsarakan prisip ini Undang-Undang sebagai alat peraturan yang khas ditempatkan dalam keutamaan hukum dan juga sebagai dasar dan batas penyelenggaraan pemerintahan.
3. Asas lainnya, yang meliputi asas formal dan asas materiil.
Setiap warga Negara tidak akan pernah bisa menghindari dari hubungan dengan birokrasi pemerintah. Pada saat yang sama, birokrasi pemerintah adalah satu-satunya organisasi yang memiliki legitimasi untuk melaksanakan berbagai peraturan dan kebijakan menyangkut masyarakat secara luas dan warga Negara. Itulah sebabnya pelayanan pelayanan yang diberikan oleh birokrasi pemerintah menuntut tanggung jawab secara moral yang tinggi dalam melaksanakan kewajiban dalam rangka menciptakan pelayanan publik yang baik. Namum sayangnya tanggung jawab moral dan tanggung jawab professional ini menjadi salah satu titik lemah yang krusial dalam birokrasi pelayanan publik di Negara Indonesia. Dalam artian sering terjadi penyimpangan-penyimpangan di dalam pelaksanaan pelayanan publik di lapangan. Padahal ketentuan-ketentuan secara legal formal sudah baik dan benar yang disusun dan disahkan oleh para pengambil kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun dalam bentuk peraturan daerah.
Memang sangat tragis jika kita melihat pelayanan publik yang dilakukan di Negara Indonesia tercinta kita ini, sering terdengar dimana-mana baik dimedia massa sampai media elektronik. Terdengarnya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh instansi-instansi yang melakukan pelayanan publik. Mulai dari mempersulit masyarakat dengan alasan prosedur birokrasi dan praktik-praktik Korupsi Kolusi Dan Nepotisme (KKN).
Keberadaan mengenai aturan dalam pelaksanaan pelayanan publik sekala propinsi seperti Propinsi Jawa Timur memang sudah menjadi keharusan, mengingat banyaknya suatu tugas yang dibebankan kepada pihak pemerintah untuk memberikan pelayaan kepada masyarakat secara luas. Dapat dibayangkan apabila tidak adanya suatu aturan mengenai pelayanan publik disuatu daerah dapat dipastikan terdapat beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh pihak pelaksana birokrasi pada khususnya, selain itu juga dari sisi masyarakat itu sendiri. Yang kita ketahui bersama bahwa dalam penyelenggaraan pelayanan publik disuatu daerah sering terjadi penyimpangan yang dikeluhkan kepada masyarakat,misalnya dengan adanya birokrasi yang berbelit-belit sehingga membuat masyarakat menjadi resah dan jenuh terhadap pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pihak birokrat itu sendiri.
Sedangkan dalam pelayanan publik yang diharapkan oleh masyarakat dan kita bersama adanya suatu pelayanan publik yang mudah untuk dilaksanakan. Tetapi apa yang diharapkan tidaklah selamanya berjalan sesuai dengan rencana. Dalam hal ini menurut penulis tidak adanya harmonisasi baik pada sisi pelaksanaan maupun aturan yang dibuat oleh pihak pemerintah. Sebagai salah satu contoh yang dicetak oleh Kompas Surabaya terdapatnya laporan dari pihak masyarakat mengenai pelayanan publik yang terjadi di Kota Surabaya dimana masyarakat selalu dipersulit atas tindakan para birokrat yang selalu berbelit-belit untuk mempersulit masyarakat yang mempunyai keperluan mengenai pengurusan suatu identitas seperti Kartu Tandan Penduduk (KTP), perizinan tanah dan lain sebagainya.
Dengan adanya suatu pemberitaan yang menyimpang terhadap pelayaan publik di Propinsi Jawa Timur oleh pihak masyarakat hal ini sudah menyimpangi ketentuan dalam proses pelayanan publik yang sudah di jadikan aturan hukum melalui Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik Di Propinsi Jawa Timur khususnya pada BAB II Asas, Tujuan dan Ruang Lingkup pada ketentuan pasal 2 (dua) Asas Penyelenggara pelayanan publik angka 6 asas profesionalisme jika dikorelasikan dengan apa yang terjadi dalam pelayanan publik di Propisi Jawa Timur yang sempat diberitakan oleh pihak media Kompas Surabaya adanya tindakan berbelit-belit yang dilakukan oleh para pelaksana birokrat tidaklah sesuai dengan asas yang terdapat dalam perda Propinsi Jawa Timur ini. Yang menurut penulis dengan adanya tindakan yang mempersulit masyarakat dalam proses pelayanan publik adalah suatu tindakan yang tidak profesional yang dilakukan oleh para birokrat.
Selain itu dari segi teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, berdasarkan analisa yang dilakukan oleh penulis terhadap Perda Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik Di Propinsi Jawa Timur diperoleh data bahwa dalam penyusunan perda juga belum mengikuti teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
a. Pembukaan
1. Konsideran
a. Dalam pokok-pokok suatu pemikiran yang terkandung dalam konsideran Perda Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik Di Propinsi Jawa Timur belum memuat aspek-aspek yang wajib dimasukkan dalam suatu peraturan yang dibuat yakni aspek filosofis, dan sosiologis yang menjadi hal yang fundamental dalam pembuatun perda.
b. Aspek filosofis dalam Perda Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik Di Propinsi Jawa Timur hanya memasukkan bahwa dibentuknya perda ini hanya merupakan suatu kewajiban pemerintah semata, menurut penulis seharusnya memuat mengenai diperlukan pembentukan perda ini dikarenakan atas adanya suatu kebutuhan masyarakat yang semakin hari semakin meningkat dengan suatu birokrasi pemerintahan.
c. Sedangkan pada aspek sosiologis pada Perda Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik Di Propinsi Jawa Timur hanya menitik beratkan pada suatu peningkatan kualitas pelayanan publik seharusnya peraturan yang dibuat sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan sosial masyarakat Jawa Timur. Tidak hanya semata-mata untuk meningkatkan kualitas suatu pelayanan publik, seharusnya memasukkan mengenai semakin banyaknya suatu keperluan dalam kehidupan masyarakat dengan suatu pemerintahan khususnya mengenai perijinan.
2. Dasar Hukum
Dasar hukum yang tercantum dalam perda seharusnya suatu peraturan perundang-undangan yang mempunyai relevansi yang sangat urgen dengan perda yang akan dibentuk, tetapi kenyataan yang terjadi sering kali terdapat dalam pembuatan suatu perda perancang perda sering memasukkan peraturan perundang-undangan atau dasar hukum yang tidak mempunyai relevansi secara signifikan dan juga sering dimasukkan dalam perda. Seperti pada Perda Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik Di Propinsi Jawa Timur yang memasukkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4125). Menurut penulis hal ini tidak perlu untuk dimasukan kerena pelayanan publik tidak mempunyai relevansi yang cukup signifikan dengan perda yang dibuat. Sehingga dalam perda pelayanan publik Propinsi Jawa Timur ini dapat dikatakan pemborosan dasar hukum yang dimasukkan dalam konsideran.
3. Diktum
Kata “MEMUTUSKAN” dalam suatu peraturan khususnya Perda Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik Di Propinsi Jawa Timur yang ditulis dengan tulisan bersambung adalah suatu teknik penulisan yang salah. Seharusnya kata “MEMUTUSKAN” harus ditulis dengan menggunakan spasi seperti “M E M U T U S K A N”.
b. Batang Tubuh
Melihat hal ini dari catatan buruk yang dimiliki oleh beberapa instansi yang berada di Jawa Timur, sehingga harus kita analisa secara mendalam terletak dimana kesalahan dalam birokrasi yang terjadi di Provinsi Jawa Timur ini. Jika ditinjau dari sisi yuridis Pemerintah Provinsi Jawa Timur sudah membuat suatu naskah hukum dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) yakni Perda Provinsi Jawa Timur Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pelayanan Publik Di Propinsi Jawa Timur. Yang menjadi pertanyaan sekarang dari sisi manakah yang salah sehingga terjadinya catatan buruk terhadap pelayanan publik yang terjadi di Provinsi Jawa Timur. Melihat pemberitaan yang dikeluarkan oleh Kompas Surabaya yang dalam hal ini terkait instansi-instansi yang mempunyai catatan buruk serta dengan adanya laporan-laporan pihak masyarakat dengan adanya proses birokrasi yang berbelit-belit tidaklah menunjukkan pemenuhan hak para penerima layanan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 5 Perda Provinsi Jawa Timur tentang Pelayanan Publik yang berbunyi “Penerima layanan publik mempunyai hak: (a) Mendapatkan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas-asas dan tujuan pelayanan publik serta sesuai standar pelayanan publik yang telah ditentukan. (b) Mendapatkan kemudahan untuk memperoleh informasi selengkap-lengkapnya tentang sistem, mekanisme dan prosedur dalam pelayanan publik. (c) Memberikan saran untuk perbaikan pelayanan publik. (d) Mendapatkan pelayanan yang tidak diskriminatif, santun, bersahabat dan ramah. (e) Memperoleh kompensasi apabila tidak mendapatkan pelayanan sesuai standar pelayanan publik yang telah ditetapkan. (f) Menyampaikan pengaduan kepada penyelenggara pelayanan publik dan atau Komisi Pelayanan Publik untuk mendapatkan penyelesaian. (g) Mendapatkan penyelesaian atas pengaduan yang diajukan sesuai mekanisme yang berlaku. (h) Mendapatkan pembelaan, perlindungan, dalam upaya penyelesaian sengketa pelayanan publik.
Jika ditinjau dari pasal 7 Perda Provinsi Jawa Timur tentang pelayanan publik yang mengatur mengenai peran serta masyarakat yang berbunyi:
1. Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
2. Pelaksanaan ketentuan pada ayat (1) dilakukan dengan cara: “Berperan serta dalam merumuskan standar pelayanan publik; Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat dan kemitraan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Menumbuh kembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Menumbuhkan ketanggap segeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Memberikan saran dan atau pendapat dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik. Menyampaikan informasi dan atau memperoleh informasi di bidang penyelenggaraan pelayanan publik”.
Melihat permasalahan yang terjadi mengenai pelayanan publik di Provinsi Jawa Timur yang tercatat sempat mendapatkan teguran langsung dari gubernur Provinsi Jawa Timur, akibat adanya ketidak profesionalan para pelaksana pelayanan publik sehingga terjadi pro dan kontra antara pihak masyarakat dan pihak pemerintah daerah baik daerah Kabupaten maupun Kota. Merujuk pada pasal 7 ayat (1) dan (2) yang terterah di atas menurut penulis kurangnya pihak pelaksanan pelayanan publik kurang mengikutsertakan pihak masyarakat dalam rangka pelayanan publik menjadi mitra untuk dapat bekerjasama secara baik. Sehingga terjadinya suatu pro dan kontra mengenai pelayanan publik di instansi-instansi terkait. Meskinya Perda Provinsi Jawa Timur mengenai Pelayanan Publik setidaknya dapat memperhatikan kultur dalam kehidupan dalam masyarakat itu sendri agar kebutuhan dari peraturan tersebut dapat berjalan secara efektif. Jika kita merujuk pada asas pembuatan perda khususnya asas sosiologis bahwa perda harus mencerminkan kenyataan hidup dalam masyarakat. Dengan demikian perda yang dibentuk dapat diterima masyarakat, memeiliki daya laku efektif, dan tidak banyak memerlukan pengerahan institusi/penegakan hukum dalam pelaksanaannya.
Selain itu juga dalam melaksanakan pelayanan publik transparansi sangatlah diperlukan dalam konteks penyelenggaraan pelayanan publik adalah terbuka, mudah, dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan serta disediakan secara memadai dan mudah dimengerti. Jadi secara konseptual,transparansi dalam penyelenggaraan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang bersifat terbuka, mudah, dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan serta disediakan secara memadai dan mudah dimengerti oleh semua penerima kebutuhan pelayanan. Sangat disayangkan konsep transparansi dalam dalam dunia pelayanan publik secara realitas belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, seharusnya para pelaku (penyelenggara) pelayanan publik harus mengerti secara detail mengenai pentingnya transparansi dalam menjalankan birokrasi di suatu pemerintahan.
Penting juga untuk diingat dalam melaksanakan pelayanan publik bahwa Asas Pelayanan Publik tidak boleh dilupakan para pelaksana pelayanan publik itu sendiri. Pelayanan Publik dilaksanakan dalam suatu rangkaian kegiatan terpadu yang bersifat sederhana, terbuka, lancar, tepat, lengkap, wajar dan terjangkau. Karena itu harus mengandung unsur-unsur dasar sebagai berikut :
1. Hak dan kewajiban bagi pemberi maupun penerima pelayanan publik harus jelas dan diketahui secara pasti oleh masing-masing pihak.
2. Pengaturan setiap bentuk pelayanan publik harus disesuaikan dengan kondisi kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk membayar berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan tetap berpegang pada efisiensi dan efektifitas.
3. Mutu proses dan hasil pelayanan publik harus diupayakan agar dapat memberi keamanan, kenyamanan, kelancaran dan kepastian hokum yang dapat dipertanggung jawabkan.
4. Apabila pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Instansi Pemerintah terpaksa harus mahal, maka Instansi Pemerintah yang bersangkutan berkewajiban memberi peluang kepada masyarakat untuk ikut menyelenggarakannya sesuai perundang-undangan yang berlaku.
Pentingnya mengingat hal di atas agar dapat terciptanya suatu aturan suatu keserasian dalam berjalannya suatu aturan di dalam kehidupan masyarakat, sehingga pada nantinya dapat terwujudnya suatu keseimbangan antara aturan hukum dan pelaksanaannya di dunia masyarakat, dan juga tidak terjadinya lagi suatu penyimpangan-penyimpangan yang dilakuakan oleh para birokrat. Dengan adanya dasar-dasar asas pelayanan publik yang terpaparkan di atas diharapkan para birokrat juga dapat mengetahui porsi-porsi dalam melaksanakan tugas sebagai pelayan masyarakat.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "ANALISIS PERDA PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2005"
Posting Komentar