S. Bekti Istiyanto
Bapak Dua Anak Tinggal di Purwokerto
Sebuah pertanyaan yang sebenarnya sederhana dilontarkan istri kepada saya beberapa waktu lalu. “Bi, apa yang sudah kita siapkan untuk menghadapi kenaikan berbagai harga-harga?” Pertanyaan yang tentu saja mempunyai banyak segi pembahasan. Bisa kita lihat dari sisi ‘seorang menteri keuangan’ yang pasti akan semakin membikin kening tambah berkerut bila anggaran yang ada tidak bertambah, bisa dari seorang kekasih yang meminta pertanggung jawaban akan bukti kasih sayang, seorang bawahan yang meminta perhatian lebih dan sangat mungkin Anda sendiri yang bisa mengartikulasikan dengan lebih banyak makna.
Saya sendiri melihat dengan minimal dua versi, pertama pertanyaan ini sendiri tidak membutuhkan jawaban kongkret, karena bisa dibelokkan dengan argumentasi seperti seorang ‘materialis’ yang ‘kurang percaya’ dengan prinsip bahwa rejeki sudah ditakdirkan dan pasti akan datang. Sehingga ada semacam upaya pembelaan bahwa yang mesti kita persiapkan adalah justru masalah ma’nawiyah yang lebih baik. Kedua, tentu saja ini juga termasuk masalah matematis yang membutuhkan jawaban tidak sekadar abstrak tapi juga angka-angka yang cukup realistis. Bukan berarti tidak percaya bahwa rejeki sudah terdaftar namanya tapi mesti ada upaya jelas bagaimana mengusahakan dan mendapatkannya. Tidak seperti seorang kawan mahasiswa saya, yang sebentar lagi mau lulus dan sudah berani melamar beberapa orang akhwat dan selalu mendapat jawaban negatif, baik dari orang tua akhwat ataupun dari akhwatnya sendiri, karena ketidak siapan secara realistis masalah nafkah. Beliau selalu berprinsip bahwa dengan bertawakkal pasti kemudahan dan juga rejeki akan segera datang. Kita tidak perlu mendiskusikan lebih lanjut makna tawakkal, karena ini bukan tempatnya. Tapi tentu saja -menurut saya- perlu dibutuhkan sebuah jawaban yang bisa menenangkan di tengah kondisi yang selalu membikin kita tidak tenang.
Kesiapan ruhiah dalam menghadapi segala masalah merupakan sebuah keharusan, tapi berpikir kongkret mencari solusi yang nyata juga merupakan sebuah bukti tanggung jawab. Tidak dengan maunya enaknya sendiri dengan menyerahkan segala sesuatu dengan jawaban pasti nanti ada jalan keluarnya. Kita semua, termasuk istri saya, sadar bahwa tambahan penghasilan di tengah saat-saat sulit seperti ini tentu bukanlah hal yang gampang. Bahkan dalam sebuah pengajian di masjid kampung saya pernah terceletuk dari seorang jama’ah bahwa sekarang ini mencari yang haram saja sulit, apalagi yang halal. Naudzubillah. Pernyataan tersebut mestinya tidak membuat kita pesimis dan minder menghadapi masalah ini. Walaupun kita harus jujur, seringkali pendapatan yang didapat pada kondisi dewasa ini tidaklah mesti sebanding dengan segala pengeluaran yang kita tanggung. Mesti begitu, ketidak kenalan kita untuk menyerah dalam berusaha dan selalu mencari celah-celah yang dapat kita manfaatkan mesti kita pertahankan.
Seorang kawan saya yang kebetulan mahasiswa sudah hampir menyerah dengan kondisi keuangan yang ada. Justru di tengah keterjepitanya tersebut muncullah sebuah ide brilian untuk menjadi ‘karyawan PJKA’. Bukan berarti melamar kerja di PJKA tapi beliau melihat peluang dengan menjual majalah bekas (sudah kadaluarsa waktu edarnya) dan juga souvenir lain di dalam kereta api. Beliau bisa mendapatkan Rp 5.000-15.000 per setengah jam sampai tiga jam karena memanfaatkan celah faktor keberuntungannya kenal dengan seorang distributor majalah dan souvenir yang dengan senang hati mau dibantu untuk dipasarkan kembali barang-barangnya. Saya sempet bertanya, “Énte nggak malu mahasiswa cukup elit di sini mau menjual majalah bekas?” dan jawabannya ternyata mengagetkan saya, ternyata malu itu cuma di awal, berikutnya yang ada hanya senang saja dan hilang rasa malu itu. Sekarang masalah keuangan sudah tidak menjadi berarti lagi, karena dengan penghasilan yang didapat beliau bahkan merasa bangga karena bisa melampui UMR lokal bila dibandingkan waktu kerja yang dibutuhkan. Ternyata malu ini masalah psikologis saja, ketika keberhasilan mendapatkan sesuatu itu sudah dirasakan, nilainya bisa mengalahkan masalah malu.
Kawan saya yang lain malah menjadikan ketiadaan modal sebagai faktor kebangkitan berusaha. Beliau adalah seorang perantau dari kota lain yang kemudian juga bisa memanfaatkan celah dan menjadikan sebagai usaha. Dalam pengamatannya beliau mendapatkan banyak keluarga yang paham Islam meragukan untuk membeli ayam potong yang ada. Akhirnya beliau menawarkan tenaganya –yang tanpa modal- untuk memasarkan ayam-ayam pedaging yang dipunyai kenalannya untuk dipotong secara Islami dan ditawarkan langsung ke rumah-rumah keluarga yang Islami tersebut. Dengan jaminan kesholehan dan pemahaman Islam yang dipunyai, usaha tersebut berkembang dan sekarang malah mulai kesulitan untuk memenuhi para pelanggannya.
Dua kisah ini menjadi ibrah buat saya karena pertama, rintisan usaha biasanya memang dimulai dengan kecanggungan dan rasa malu tapi seiring waktunya hal itu akan segera memudar bila terus menjalaninya. Kedua, cerdasnya seseorang dalam memanfaatkan peluang dan menjadikannya momentum kebangkitan buat dirinya bisa mendapat hasil yang optimal sesuai dengan yang diinginkan. Ketiga, kerja tidak mesti dengan hitungan angka-angka yang rumit dan mesti diimbuhi dengan modal awal, tapi kesungguhan, keuletan dan keberanian juga merupakan faktor penting lainnya. Keempat, seringkali dalam benak kita yang namanya usaha mestilah sekalian besar tanpa pernah berpikir bahwa banyak usaha besar justru dimulai dari yang kecil-kecil dan diremehkan orang. Kesiapan untuk berusaha dari yang kecil dan tidak dinilai harus mulai ditumbuh kembangkan karena sering kali yang tidak dianggap orang bahkan suatu saat menjadi sesuatu yang bernilai. Kelima, faktor kemandirian juga merupakan hal yang penting karena lebih baik jadi raja kecil daripada menjadi pelayan besar, karena walaupun besar toh tetap pelayan.
Kelima faktor tadi mestinya harus sudah diberikan bukan sekadar saat-saat sulit sekarang ini tapi juga harus sudah dirintis sedari kecil kepada anak-anak kita. Bagaimanapun seringkali pendidikan kita sekarang ini mewariskan jiwa-jiwa pengabdi (dalam bahasa kasarnya buruh) dan bukan sosok individu yang berani menampilkan kepribadian dan potensi yang dimiliki serta perbedaan dengan orang lain. Semua itu tentu saja sangat terkait dengan iktikat kita sebagai orang tua. Warisan nilai yang ditanamkan harus punya orientasi ke depan dan keluargalah yang sangat mempunyai peranan dominan di sana.
Artikel keren lainnya:
BalasHapusYeni medan 3/Mei/2014
assalamualaikum wr,wb
MBAH… saya YENI NURLINA
mengucapkan banyak2 terima
kasih kepada MBAH SUKRO
atas nomor togelnya yang
kemarin MBAH berikan yaitu
"1305" alhamdulillah
ternyata itu benar2 tembus
MBAH dan berkat bantuan
MBAH SUKRO saya bisa
melunasi semua hutan2
orang tua saya yang ada di
BANK BRI dan bukan hanya
itu MBAH alhamdulillah
sekarang saya sudah bisa
bermodal sedikit untuk
mencukupi kebutuhan
keluarga saya sehari2. itu
semua berkat bantuan MBAH
SUKRO sekali lagi
makasih banyak yah MBAH…
yang ingin merubah nasib
seperti saya hubungi MBAH
SUKRO di nomor
0853-3000-1769 atau
>>>KLIK DISINI<<<http://ramalantogel77.blogspot.com
dijamin 100% tembus atau
silahkan buktikan sendiri