Salah satu upaya untuk memenangkan persaingan dagang di pasar internasional adalah memasarkan produk berkualitas baik. Komoditas yang ditawarkan harus memiliki mutu lebih baik dibandingkan produk sejenis dari negara lain. Untuk menghasilkan bahan pangan dengan mutu yang baik, pemerintah telah menerapkan konsep Manajemen Mutu Terpadu (MMT). Setiap industri pangan diharuskan menerapkan MMT.
Memasuki era perdagangan bebas, setiap negara berusaha untuk dapat memperluas pangsa pasar bagi komoditas yang dihasilkannya. Berbagai upaya terus dilakukan guna mengatasi sejumlah hambatan yang menghadangnya. Pemasaran bahan pangan dapat dilakukan di pasar lokal maupun pasar manca negara. Sebagai negara dengan penduduk lebih dari 200 juta orang, Indonesia merupakan kawasan potensial bagi negara lain untuk memasarkan produknya. Produsen dari berbagai negara berusaha untuk menguasai pasar Indonesia bagi produknya.
ASEAN Free Trade Area (AFTA) adalah wujud dari kesepakatan negara-negara di Asia Tenggara dan kawasan sekitarnya untuk membentuk kawasan perdagangan bebas guna meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN sebagai basis produksi dunia serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya.
Berdasarkan perjanjian AFTA, akan dilakukan penghapusan hambatan tarif (bea masuk) dan non tarif bagi negara-negara ASEAN. Setiap negara harus mengijinkan produk dari negara lain untuk memasuki wilayahnya, apabila negara tersebut tidak memiliki produk sejenis. Dengan demikian, apabila tidak memiliki produk sejenis dengan kualitas yang sama, maka negara kita akan kebanjiran produk yang berasal dari negara lain. Hal ini sudah terasa pada komoditas buah-buahan, barang elektronik, obat-obatan, dan kosmetik. Dalam perdagangan bebas antar negara telah dikenal dua jenis hambatan pemasaran, yaitu hambatan tarif dan non tarif. Bila tidak dipenuhi, maka produk dari negara produsen tidak dapat dipasarkan ke negara konsumen. Hambatan tarif antara lain berupa penentuan harga, pajak dan kuota. Harga komoditas yang berlaku di negara tujuan ekspor, besarnya nilai pajak yang harus dibayar ke negara tujuan, dan pembatasan kuota merupakan hambatan tarif yang dapat mempengaruhi perdagangan antar negara.
Hambatan non tarif merupakan syarat yang spesifik dari setiap negara konsumen, sehingga perlu dicermati agar komoditas dapat dipasarkan ke negara tersebut. Syarat yang diajukan oleh negara konsumen dapat berkaitan dengan negaranya atau negara produsen. Hambatan non tarif antara satu bahan pangan dengan lainnya berbeda.
Untuk menghasilkan bahan atau produk pangan yang bermutu tinggi, pemerintah telah menerapkan konsep Manajemen Mutu Terpadu (MMT) untuk berbagai industri pangan. Landasan hukum yang mendasari penerapan MMT di setiap industri berbeda. Misalnya, landasan hukum penerapan MMT dalam bidang industri perikanan adalah : (a) landasan hukum internasional yang meliputi Code of Conduct for Responsible Fisheries, HACCP Regulation US-FDA, Own Check UE–HACCP, dan HACCP plus– Canada; dan (b) landasan hukum nasional yang berupa : Undang-Undang Perikanan No. 9 tahun 1985; Peraturan Pemerintah No. 12 tahun 1991; dan Keputusan Presiden No. 15 tahun 199.
Secara umum penerapan PMMT bertujuan untuk menghasilkan produk pangan bermutu tinggi. Secara khusus, penerapan MMT bertujuan untuk : (a) mengevaluasi cara memproduksi produk pangan untuk mengetahui bahaya yang mungkin terjadi; (b) memperbaiki cara memproduksi bahan pangan dengan memberikan perhatian khusus terhadap tahap-tahap proses atau mata rantai produksi yang dianggap kritis; (c) memantau dan mengevaluasi cara menangani dan mengolah pangan serta menerapkan sanitasi dalam memproduksi pangan; dan (d) meningkatkan pemeriksaan secara mandiri terhadap industri pangan oleh operator dan karyawan.
Di samping tujuan yang telah diuraikan di atas, penerapan MMT dapat memberikan manfaat khususnya bagi industri/produsen antara lain sebagai berikut : (a) memberikan dan meningkatkan jaminan mutu (keamanan) produk yang dapat lebih dipercaya; (b) menekan kerusakan produk karena cemaran; (c) melindungi kesehatan konsumen dari bahaya dan pemalsuan; (d) menekan biaya pengendalian mutu dan kerugian lainnya; (e) memperlancar pemasaran sehingga dapat mencegah terjadinya kehilangan pembeli atau pasar; (f) mencegah penarikan produk dan pemborosan biaya produksi atau kerugian; dan (g) membenahi dan membersihkan tempat-tempat produksi (pabrik).
Untuk memenangkan persaingan dalam era perdagangan bebas diperlukan bahan atau produk pangan yang bermutu. Banyak bahan dan produk pangan yang belum memenuhi standar mutu seperti ditetapkan oleh Standar Nasional Indonesia (SNI). Sebagian besar produsen bahan atau produk pangan ternyata masih belum menjadikan mutu sebagai orientasi. Hal ini dapat terjadi karena modalnya relatif kecil, rendahnya tingkat pengetahuan, dan tuntutan masyarakat. Sebagian besar produsen bahan pangan masih belum menjadikan mutu sebagai tujuan akhir. Hal ini dapat dimengerti karena modal yang dimiliki relatif kecil, rendahnya tingkat pengetahuan, dan rendahnya tuntutan masyarakat.
Rendahnya tuntutan dari masyarakat akan mutu pangan telah berpengaruh terhadap rendahnya orientasi mutu dari produsen. Sebagian produsen bahan pangan adalah home industry (industri rumah tangga) yang memiliki modal terbatas sehingga perlu menerapkan skala prioritas. Berdasarkan MMT, bagi produsen yang berskala industri rumah tangga diwajibkan untuk menerapkan GMP secara benar di setiap proses produksinya. Dengan demikian diharapkan kualitas bahan pangan yang dihasilkan memiliki daya tarik dan daya saing lebih baik.
Susut produksi bahan pangan dapat mencapai 20-30 persen. Susut bobot ini dapat berasal dari limbah pasar/industri, kesalahan penanganan, dan pasar yang tidak memiliki kemampuan untuk menyerap bahan pangan yang dihasilkan. Penerapan MMT diharapkan dapat menekan susut bobot dengan cara menghasilkan produk sesuai prosedur yang berlaku.
Persyaratan mutu produk pangan yang ditetapkan dalam perdagangan bebas cenderung makin ketat. Negara produsen yang mampu secara terus menerus meningkatkan mutu akan memenangkan persaingan. Sebagai contoh, batas maksimum kandungan antibiotik chloramphenicol yang diperkenankan dalam bahan pangan adalah 0.3 ppm Dengan ditemukan alat pendeteksi yang lebih akurat, maka batas maksimum senyawa tersebut telah diturunkan menjadi 0.1 ppm.
Negara berkembang tidak memiliki kemampuan untuk membuat alat pendeteksi tersebut sehingga harus membelinya dari negara maju. Harga satu unit pendeteksi tersebut mencapai 1 miliar. Dari fenomena di atas, terlihat bahwa produsen dari negara berkembang harus mengeluarkan biaya dahulu untuk dapat memasarkan produknya ke negara maju.
Dengan kata lain, berapa udang yang harus diekspor ke Amerika agar keuntungan yang diperoleh dapat menutupi biaya pembelian alat pendeteksi tersebut.
Belum ada tanggapan untuk "Manajemen Mutu Terpadu "
Posting Komentar